Sejak pilpres 9 Juli 2014, Indonesia heboh membicarakan soal quick count, yaitu penghitungan suara pilpres secara cepat berdasarkan ilmu statistika. Dipilih sekitar 2000 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di berbagai wilayah Indonesia, yang dianggap mewakili seluruh TPS yang ada di Indonesia yaitu sekitar 500 ribu TPS. Lalu dihitunglah perolehan suara yang ada di 2000 TPS tersebut. Data ini lalu diolah dan didapatkan hasil hitung cepat pilpres berupa prosentase. Kandidat capres-cawapres yang mendapat prosentase lebih tinggi, adalah kandidat yang diprediksi akan menang berdasarkan penghitungan suara riil oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti.
Masalahnya, ada banyak lembaga survei yang mengadakan quick count. Hasil yang dirilis pun tidak sama, ada yang menyatakan kandidat A menang, ada yang menyatakan kandidat B menang. Sayangnya, kedua capres-cawapres seperti terburu-buru mendeklarasikan kemenangan hanya berdasarkan hasil quick count. Rakyat dibuat bingung soal mana yang benar. Debat kusir pun bermunculan.
Ada pihak yang keukeuh, bahwa menang quick count berarti menang pilpres. Bahkan sampai melontarkan pernyataan, kalau hasil hitungan KPU tidak cocok dengan hasil quick count, pasti KPU yang salah.
Hari ini saya baca postingan di dunia maya, ada yang coba menganalogikan quick count dengan sampling darah manusia. Katanya, quick count itu cukup terpercaya mewakili seluruh populasi rakyat Indonesia, sebagaimana sampel darah sekian mililiter yang diambil dari lengan kita itu cukup terpercaya mewakili kondisi sesungguhnya dalam tubuh.
"Kalo ngga percaya sampling ala quick count, ya kalo periksa darah di laboratorium berarti lehermu digorok aja supaya semua darahmu bisa diperiksa."
Saya senyum-senyum. Teman-teman sejawat saya kayaknya juga bakal nyengir membaca analogi itu.
Sirkulasi darah yang ada dalam tubuh kita bersifat homogen dan sistemik. Darah yang dipompa dari jantung ke seluruh tubuh, lalu balik lagi ke jantung ya darah yang itu-itu juga. Jadi misalnya, seorang mengidap penyakit diabetes melitus alias kencing manis. Jika kadar gula darahnya memang tinggi, mau sampel darahnya diambil dari pembuluh vena lengan, kaki dan leher sekali pun ya hasilnya tinggi. Jadi pengambilan sampel cukup dari satu tempat saja, dan cukup beberapa mililiter saja. Tentu ini hanya berlaku untuk satu pasien yang diperiksa ya.
Bisakah hasil pemeriksaan darah di laboratorium salah? Bisa banget.
Ada tiga tahap dalam uji laboratorium: tahap pre analitik, analitik, dan post analitik. Tahap pre analitik ini cakupannya mulai dari persiapan pasien sebelum diambil sampel darah (misalnya kalau mau diperiksa gula darah puasa ya harus puasa dulu 8-10 jam) sampai cara pengambilan dan penanganan sampel oleh tenaga kesehatan.
Tahap analitik adalah tahap di mana sampel diuji di laboratorium. Faktor-faktor yang penting di sini misalnya alat yang dipakai berfungsi dengan baik atau tidak, terkalibrasi atau tidak, reagen yang dipakai masih bagus atau sudah kadaluarsa, pemeriksaannya betul-betul sesuai protokol atau tidak, analis yang mengerjakan sudah terlatih atau belum.
Tahap post analitik mencakup mulai dari hasil pemeriksaan didapatkan, direkap, sampai akhirnya dilaporkan ke dokter dan pasien.
Satu saja kesalahan dalam salah satu tahap itu, bisa menyebabkan hasil pemeriksaan yang tidak akurat, bahkan salah. Misalnya analis keliru menulis identitas pasien di tabung sampel, sehingga hasil pemeriksaan tertukar dengan pasien lain. Atau, pasien berusaha mengakali dokter dengan diet ketat selama seminggu sebelum dicek gula darahnya, bisa mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium. Pasien senang, dokter mengira penyakit kencing manis sudah terkendali karena gula darahnya normal. Padahal tidak. Dan yang rugi terancam keselamatannya karena stroke, serangan jantung dan gagal ginjal adalah pasien itu sendiri. Makanya sekarang dokter cenderung memilih pemeriksaan HbA1C ketimbang kadar gula puasa atau sewaktu. HbA1C menggambarkan "rekam jejak" kadar gula darah pasien selama 3 bulan terakhir. Jadi ngga bisa bohong dengan diet kilat.
Nah, kok jadi ngelantur bahas pemeriksaan laboratorium? Hehe.
Bagaimana dengan quick count? Menurut saya, tidak bisa dibandingkan dengan populasi berupa darah yang bersifat homogen dan sistemik. Populasi pemilih Indonesia, menurut daftar pemilih di KPU, berjumlah sekitar 190 juta orang. Dengan jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, suku, dan pastinya pola pikir yang berbeda-beda. Populasi pemilih ini tersebar dalam 500 ribu TPS di seluruh wilayah Indonesia dan di luar negeri. Ada wilayah-wilayah tertentu yang mayoritas dihuni massa pendukung capres A, sementara di wilayah-wilayah lain lebih banyak didiami massa pendukung capres B. Agar hasilnya valid, sebaran pengambilan sampel harus merata dan mewakili para pendukung A dan B.
Bisakah hasil quick count salah atau tidak sesuai dengan hasil real count? Bisa. Misalnya, jika TPS yang disurvei kebanyakan ada di wilayah pendukung capres A, ya pasti hasil quick count akan menunjukkan A menang. Sebaliknya, jika TPS yang dipilih mayoritas ada di wilayah pendukung capres B, ya hasil quick count bakal memihak B. Atau, misalnya pekerja lapangan yang bertugas mengumpulkan data ternyata bekerja untuk beberapa lembaga survei, sehingga data yang sama dilaporkan pada beberapa lembaga survei yang berbeda. Tentu saja lembaga-lembaga tersebut mengumumkan hasil quick count yang sama, lalu timbul kesan, "Ini adalah fakta karena bukan cuma satu lembaga saja yang hasilnya begitu," padahal sesungguhnya sumber datanya cuma satu.
Saya bukan ahli statistik, apalagi pengamat politik. Saya sekedar rakyat awam yang berusaha berpikir logis. Apakah lembaga-lembaga survei yang melakukan quick count itu independen dan bebas kepentingan? Kita sama-sama tahu jawabannya. Adanya kepentingan tertentu yang diusung sebuah lembaga survei bisa menyebabkan quick count yang bias. Contohnya, bisa saja sampel-sampel yang diambil adalah TPS-TPS di wilayah yang didominasi pendukung capres A atau B, sehingga ya hasil hitungannya menguntungkan pihak tertentu.
Dari riwayat perhelatan demokrasi di Indonesia, quick count memang pernah salah. Pada pilpres tahun 2004 misalnya, quick count menyatakan Megawati menang tipis atas Susilo Bambang Yudhoyono, tapi dari hasil real count KPU ternyata Susilo Bambang Yudhoyono-lah yang memperoleh suara terbanyak. Lalu pada pilgub Jawa Barat tahun 2013, berdasarkan quick count Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki unggul atas Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar. Tapi hasil real count KPU menyatakan sebaliknya.
Sekarang kalau mau menilai mana quick count yang ilmiah dan mewakili realitas, baiknya semua lembaga survei diperiksa secara transparan, sumber dana, metode yang digunakan, TPS mana saja yang disampling, data lapangannya seperti apa. Auditornya tentu saja harus dipilih yang netral. Kalau tidak ya, sama saja seperti membersihkan luka dengan kasa kotor.
Jadi, apakah 2000 TPS cukup untuk mewakili 500 ribu TPS? Apakah cukup untuk menggambarkan pilihan 190 juta orang? Saya lebih percaya real count oleh KPU yang menghitung suara seluruh populasi, ketimbang quick count oleh lembaga survei. Ohya, buat yang ingin memantau penghitungan suara bisa cek di website KPU http://pilpres2014.kpu.go.id/c1.php. Usai diumumkan secara resmi oleh KPU, akan jelas siapa pemilik suara terbanyak nanti. Itulah saatnya dia boleh mengaku menang dan yang kalah bisa legowo mengucapkan selamat padanya. Siapapun pemimpin terpilih nantinya, harus kita dukung dan hormati.
Tunggu hasil dr kpu saja, semoga KPU nya netral ya hihihih
BalasHapusSetuju, pada sabar kenapa sih tunggu pengumuman dari pihak yg berwenang.. ngga perlu ngaku2 menang dulu :)
Hapus