Kemarin pagi, saya naik metromini ke kantor. Saat melewati daerah Rawasari, lalu lintas lumayan padat sehingga metromini melaju perlahan. Naiklah seorang pemuda yang usianya mungkin masih belasan tahun. Tampak sehat. Saya pikir dia adalah penumpang, sampai dia mulai "berorasi" dengan suara lantang, mengalahkan deru mesin metromini.
Kurang lebih isinya begini.
"Bapak-bapak, Ibu-ibu, maaf kalau kalian bosan melihat anak jalanan seperti saya tiap hari. Tapi keadaan memaksa. Saya mohon keikhlasannya untuk ngasih sedekah. Lebih baik saya meminta-minta daripada menodong atau mencopet."
Selesai bicara, pemuda itu menadahkan tangannya kepada setiap penumpang. Tak ada satu pun yang memberinya uang. Dia berdecak kesal, lalu mengulang lagi pidatonya tadi, hanya saja kali ini bernada memaksa.
"Tolong pengertiannya dong Pak, Bu! Jangan sampe saya harus ngulang lagi, ngulang lagi omongan saya. Apa susahnya bersedekah seribu-dua ribu."
Dan dia berkeliling lagi sambil merengut. Matanya menatap galak, mungkin mau meniru gaya preman ya. Kali ini ada satu-dua yang memberi uang receh. Itu pun diterima sambil menggerutu.
Setelah dia pergi, beberapa penumpang di sekitar saya mulai ramai nyeletuk.
"Masih muda, seger buger gitu kok ngemis."
"Iya, pake pasang tarif minimal lagi! Seribu-dua ribu. Lucu amat."
"Biar seribu-dua ribu juga kita-kita pake usaha ngumpulinnya. Bukan metik di pohon!"
Sudah cukup lama saya berhenti memberi uang pada pengemis yang bertebaran di Jakarta. Bukan karena tidak punya hati dan miskin rasa iba. Justru para pengemis itulah yang mengeksploitasi rasa iba kita untuk mendapatkan uang. Meski ada juga pengemis yang lebih suka memaksa seperti pemuda di metromini tadi. Kalau yang model begini, biasanya marah bila diberi recehan lima ratus rupiah. Bukan hanya menggerutu, bisa-bisa uang itu dibuangnya di depan mata kita.
Bukan rahasia lagi, bahwa pengemis jaman sekarang tidak semuanya mengemis karena miskin dan tidak ada jalan lain lagi untuk mencari nafkah. Melainkan karena mental peminta-minta yang ingin hidup mudah tanpa kerja susah. Pengemis menjadi semacam profesi yang penghasilannya cukup menggiurkan di kota-kota besar. Kalau mau tahu berapa nominalnya, coba saja cari artikel-artikel di media massa soal itu. Juga bukan rahasia lagi bahwa memang ada sindikat penipuan berkedok pengemis dan peminta sumbangan. Cukup terkoordinir. Masing-masing anggota punya "wilayah kerja" dan ada sistem setoran.
Tempo hari ibu RT di tempat saya bercerita soal sekelompok ibu-ibu yang berkeliling dari rumah ke rumah di lingkungan saya. Mereka mengaku dari masjid A di daerah Pulogebang, meminta sumbangan untuk program santunan anak yatim. Mereka membawa map berisi daftar nama donatur dan jumlah sumbangan yang diberikan.
Beberapa kali ibu RT tergerak memberikan sumbangan, bahkan menjamu mereka dengan minuman dan cemilan. Tapi, suatu siang beliau secara tak sengaja memergoki para wanita peminta sumbangan itu sedang duduk berteduh di bawah pohon, lumayan jauh dari RT kami. Ada apa? Rupanya uang yang katanya untuk santunan yatim itu dibagi-bagi untuk mereka sendiri.
Inilah mengapa saya lebih memilih bersedekah langsung pada orang yang membutuhkan atau melalui lembaga zakat/ infak/ sedekah resmi.
Pertama, karena saya yakin sedekah itu akan dikelola dengan bertanggung jawab dan lebih nyata manfaatnya bagi masyarakat yang membutuhkan. Entah itu nanti dipakai untuk membiayai sekolah anak-anak yatim, membantu para korban bencana alam, memberi pinjaman modal pada pengusaha-pengusaha kecil, dan lain-lain.
Kedua, (mudah-mudahan) lebih kecil peluang untuk riya' atau pamer kebaikan di hadapan orang lain. Misalnya, tinggal masuk aja ke bilik ATM, transfer uang ke rekening donasi, lalu buang struk transaksinya. Simpel dan ngga ada yang menyaksikan, kecuali Allah.
Mungkin ada yang ngga setuju sama pendapat negatif soal pengemis dan peminta sumbangan gadungan.
"Sedekah aja kok ribet dan pilih-pilih? Yang penting kan ikhlas. Apakah peminta-minta itu ternyata penipu atau bukan, ya itu urusan dia sama Tuhan."
Silakan kalau ingin "memanjakan" para peminta-minta. Semoga Tuhan akan membalas niat ikhlas pemberinya dengan kebaikan yang berlipat. Tapi jangan heran bila beberapa tahun lagi mereka tetap meminta-minta bahkan semakin bertambah saja populasinya, karena kitalah yang selama ini "mendidik" mereka untuk terus menadahkan tangan:
Kalau minta aja dapet banyak, ngapain kerja?
wah pengalaman yang sangat berharga buk
BalasHapus#blogwalking dari saya-pekok.blogspot.com