Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Senin, 19 November 2012

Panggil Dia Si Gagu



Panggil saja dia Si Gagu. Orang-orang memang menyebutnya begitu. Entah siapa nama aslinya. Tak seorangpun tahu persis berapa umurnya. Kami tak tahu juga mengapa dan sejak kapan ia bisu tak bisa berbicara. Yang jelas, ia sering wara-wiri di perumahan kami dengan sepedanya. Mencari kalau-kalau ada yang butuh bantuannya, entah membuang tanah bekas galian sumur, membuang puing-puing sisa renovasi rumah, dan lain-lain. Tentu saja dengan imbalan uang.

Pagi ini, misalnya. Saya dan Mama sedang sarapan sambil ngobrol di ruang tamu. Tiba-tiba Si Gagu menghentikan sepedanya di depan rumah kami, lalu melambai-lambaikan tangan sambil berseru memanggil, "Eeeh! Eeeh!" Mama keluar menemuinya. Si Gagu menunjuk-nunjuk dua karung yang tergeletak di depan pagar kami. Oh, rupanya dia bermaksud menawarkan jasanya membuang karung-karung itu. Isinya, sampah bekas suami saya memperbaiki loteng beberapa hari yang lalu. Remah-remah semen dan sedikit puing tembok.


Mama mengangguk bersemangat. Kebetulan nih, mumpung ada orang yang bisa dimintai tolong membuang karung. Si Gagu juga tak kalah semangat. Ia mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

"Duapuluh ribu? Ih, mahal banget.." Mama menawar harga, balas mengacungkan satu jari telunjuknya. Sepuluh ribu aja lah!

Si Gagu menggeleng-geleng lucu, lalu mengganti isyaratnya dengan satu jari telunjuk dan lima jari lain. Limabelas ribu, maksudnya.

Mama saya, the best bargainer mom I've ever known, ikut-ikutan menggeleng, bersikeras menyodorkan satu jari telunjuknya. "Ngga mau ah kalau ngga sepuluh ribu!"

Akhirnya Si Gagu setuju. Ia menadahkan tangan, menagih upah di muka.

"Nanti aja kalau kamu udah buang sampah ini," tolak Mama.

Tapi Si Gagu ngotot tetap minta dibayar lebih dulu. Mama mengalah, mengangsurkan selembar uang padanya. Si Gagu cengar-cengir menerimanya, lalu dengan usil kembali mengacungkan dua jari. Mama jadi agak sewot.

"Gimana sih, tadi katanya sepuluh ribu mau?"

Si Gagu tergelak. Oh, ternyata dia cuma bercanda. Tak lama, ia lanjut berkeliling perumahan untuk mencari pekerjaan lain. 

"Jangan lupa yaa, sampahnya diambil!" Mama ceriwis mengingatkan Si Gagu.

Si Gagu tertawa sambil melambaikan tangan. 

Duh, Si Gagu. Begitu riangnya ia menjalani hidupnya yang tak sempurna. Menerima dengan lega keadaan dirinya yang kekurangan satu panca indera. Bersemangat kerja demi mencari rezeki halal saat sebagian orang--bahkan yang memiliki indera lengkap dan tubuh sehat, memilih untuk mengemis di dalam bus atau kereta.

Sedangkan saya? Saya sehat. Saya punya kelima indera yang utuh. Saya punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Tapi saya masih saja sering mengeluh ini dan itu. Masih saja merasa kekurangan dan membanding-bandingkan apa yang saya miliki dengan yang orang lain miliki. 

Ah, malu saya sama Si Gagu. Pokoknya saya mesti lebih banyak mensyukuri hidup mulai hari ini! :)


Today, some people choose to be sad and upset about their life. 
Some others choose to be grateful for being alive. 
Which one are you?

*

3 komentar:

  1. Cerita anda itu benar nyata, saya juga pernah menjumpai orang seperti si Gagu, Orangnya bisu tapi kalo bantu2 orang wah semangatnya luar biasa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ^__^ salut banget sama orang-orang seperti mereka!

      Hapus
  2. jd tambh lbh bersyukur

    BalasHapus

Terima kasih untuk komentarnya :)