Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Selasa, 29 April 2014

(Book Review) Hujan Daun-daun


Judul        : Hujan Daun-daun
Penulis     : Lidya Renny Ch.
                   Tsaki Daruchi
                   Putra Zaman
Penerbit   : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal       : 248 halaman

Sepintas, Tania tampak seperti remaja cewek kebanyakan. Tidak menonjol, jomblo, dan punya penyakit maag yang sering kambuh tiap kali dirinya telat makan. Hanya beberapa orang yang betul-betul mengenal dirinya. Kakek Susilo dan Nenek Arini yang mengasuhnya sejak kecil, dan Stella, sahabat terbaiknya di kampus. 

Tania lahir pada tanggal yang membuatnya jarang memperingati ulang tahunnya sendiri: 29 Februari. Hehe, empat tahun sekali, gitu lho. Cewek ini mencintai seni lukis, namun entah mengapa kakeknya tidak menyukai hal itu. Mungkin beliau menganggap, di negeri ini seniman bukan profesi yang menjanjikan kemapanan. Demi sang kakek pula, Tania memilih untuk kuliah di jurusan administrasi niaga yang tidak diminatinya. Meski begitu, Tania masih suka menggambar sketsa dan mengunjungi galeri seni, sekedar untuk menyalurkan hobi. 

Tidak ada yang diingat Tania tentang Ayah dan Ibunya, kecuali cerita sepotong-sepotong dari Kakek dan Nenek, bahwa kedua orangtuanya sudah lama meninggal. Itu pun kalau Tania bertanya. Mereka lebih suka tidak membahasnya. Mungkin itu untuk kebaikan Tania sendiri, agar tidak jadi sedih karena mengenang orang-orang yang tak akan kembali lagi.

Tania berusaha mengingat semua hal yang pernah ia alami dengan orangtuanya. Tapi makin ia berusaha mengingat, makin kosong imaji yang hadir. Hanya layar hitam yang muncul di otaknya.

Satu-satunya benda pengobat rindunya pada Ayah dan Ibu hanya selembar foto berpigura.

"Lo pernah kangen sama orang yang lo bahkan nggak inget pernah ketemu? Itu yang gue rasain setiap kali lihat foto ortu gue."

Senin, 28 April 2014

Jualan Boleh Aja, Tapi...

Baru-baru ini saya mendapat pesan di mailbox akun Facebook saya. Pengirimnya bukanlah orang yang benar-benar saya kenal langsung. Dulu saya mengkonfirmasi ajakan pertemanannya karena dia adalah teman dari teman saya. Selama ini juga kami jarang saling sapa di dunia maya, mungkin karena masing-masing kami punya kesibukan ya, atau sungkan meninggalkan jejak di wall karena tidak kenal dekat. 

"Pa kabar? Sehat, Mbak?"

Begitu katanya.

"Alhamdulillah sehat, Mbak ****. Salam kenal," jawab saya. 

Maaf kalau nama si pengirim saya samarkan. Siapa namanya itu ngga penting kan? Cukup pelajarannya saja yang bisa kita ambil :) Yang jelas, saya selalu senang mendapat sapaan di dunia maya, baik itu dari teman lama atau pun teman yang baru saya kenal. Inilah salah satu keuntungan social media, bisa mendekatkan yang jauh, mempertemukan yang lama terpisah. 

Minggu, 27 April 2014

Ayo Kalahkan Tuberkulosis!


"Andai dulu dokter tahu seperti apa rupa saya waktu awal sakit TB, Dok."

Anak muda itu, sebut saja namanya Adi, tertawa. Saya rasa usianya tak jauh beda dengan saya. Tubuhnya tegap berisi, wajahnya ceria. Melihat sosoknya yang segar bugar ini, siapa menyangka bahwa ia terkena penyakit tuberkulosis? Saat ini, pengobatan yang dijalaninya telah memasuki akhir bulan keenam. Adi memeriksakan diri kembali untuk mengetahui apakah dia sudah sembuh total.

Adi menceritakan pada saya, betapa menyedihkan kondisinya dulu. Bobotnya turun sampai delapan kilogram selama enam bulan terakhir. Dia juga tidak berselera makan, mudah capek dan sering dilanda demam yang hilang muncul. Belum lagi batuk-batuk yang tak sembuh juga dengan obat batuk dan antibiotik biasa yang diberikan mantri. Atasan di tempatnya bekerja sudah menegurnya karena terlalu sering tidak masuk kerja karena sakit.

Rabu, 23 April 2014

(Book Review) Tea For Two


Judul        : Tea For Two
Penulis     : Clara Ng
Penerbit   : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal       : 312 halaman

Sassy adalah pemilik Tea For Two, sebuah perusahaan biro jodoh yang dibangunnya dari nol. Di zaman modern ini, banyak lelaki dan perempuan lajang di kota besar hampir selalu disibukkan oleh karier. Kehidupan mereka berkutat antara tempat kerja dan rumah. Kesempatan untuk bertemu pasangan hidup menjadi terbatas, dan mereka butuh bantuan pihak ketiga untuk mencarikan calon pasangan hidup. Kalau dulu perjodohan dicomblangi oleh keluarga atau teman, kini sudah banyak dilakukan oleh biro jodoh, yang dipandang efisien. Cukup memberi gambaran seperti apa dirinya, dan apa kriteria pasangan yang diidamkan. Biro jodoh akan membantu mencarikan calon pasangan, sekaligus mengatur pertemuan perkenalan mereka. Selanjutnya? Terserah pasangan tersebut, dan juga takdir Tuhan tentunya. :)

Awalnya Sassy melihat perjodohan hanya sebatas bisnis yang menguntungkan. Meski bergelut dalam dunia penuh romantisme, Sassy justru punya pendapat yang agak sinis soal cinta.

Cinta itu seperti narkoba, dia membuatmu ketagihan. Masalahnya, ada manusia yang entah mengapa tidak mendapat kesempatan merasakan sakaw cinta. Jarang mendapat kesempatan mabuk kepayang. Di sinilah peran perusahaan saya. Singkatnya, saya menjual paket cinta dosis tinggi kepada orang yang membutuhkan. 

Ketika perusahaan saya mulai menggeliat dan menghasilkan uang, saya semakin tidak percaya dengan cinta, walau di depan semua orang saya berusaha meyakinkan mereka (atau diri saya sendiri?) bahwa saya percaya dengan cinta.

Namun, di luar skeptisme itu, Sassy punya konsep yang realistis tentang cinta, dan saya setuju soal ini:

Kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Saya tidak percaya teori ngaco itu. Bagi saya, cinta datang secara bertahap. Perlahan-lahan. Halus bergerak seperti sayap kupu-kupu yang bergetar lembut di dalam perutmu.

Siapa sangka, Sassy harus menelan semua pendapatnya itu setelah mengenal Alan; lelaki yang berhasil menyita hati Sassy sejak pertama bertemu. Tampan, maskulin, cerdas, hidup mapan, dan selalu menghujani Sassy dengan kata-kata manis, perhatian dan hadiah-hadiah spektakuler. Belum pernah ada Mr. Perfect yang memperlakukan Sassy semacam ratu begitu. Tapi apa iya Alan sesempurna itu?

Sahabat-sahabat Sassy berusaha memperingatkan bahwa ada sesuatu yang janggal pada perilaku Alan. Sassy mengabaikannya, dan memilih tetap bersama Alan. Menurutnya, kekurangan Alan, apapun itu, bisa diterima. Bukankah begitu seharusnya cinta? Saling menerima ketidaksempurnaan masing-masing, dan saling menyempurnakan.

Begitulah, setelah berhasil mempertemukan banyak pasangan, bahkan hingga ke jenjang pernikahan, kini giliran Sassy memulai kisah cintanya sendiri. Namun, tak butuh waktu lama untuk tahu bahwa Alan jauh dari sempurna. Seperti kata orang, what seems too good to be true, is too good to be true. Alan mulai menampakkan perangai aslinya yang abusif, bahkan sejak masa bulan madunya dan Sassy.

Bagaimana MUNGKIN perempuan cerdas seperti saya menikah dengan lelaki yang memukul saya di hari kedua honeymoon kami? Percaya atau tidak, saya juga tidak tahu. Saya tidak paham!

Luka-luka yang Sassy alami bukan semata fisik, tapi juga psikis lewat hinaan-hinaan yang merendahkan. Kecemburuan dan sikap posesif Alan yang dulu Sassy anggap tanda cinta, sekarang terasa seperti belenggu dan cekikan di lehernya. Alan sangat membatasi apa yang boleh dilakukan Sassy dan siapa yang boleh berteman dengannya.
Dengan hadirnya Emma, putri pertama mereka, Sassy berharap suaminya kembali menjadi lelaki lembut dan romantis yang dulu dinikahinya, sekaligus ayah yang menyayangi Emma. Tapi sebaliknya, kekasaran Alan justru semakin menjadi. Keluarga dan sahabat-sahabat Sassy berusaha membuka mata Sassy, bahwa pernikahan ini sudah tak sehat lagi.

"Ya, Sayang, kita harus memberi kesempatan kedua dan mengampuni yang salah," kata Mama pelan, "tapi ada saatnya kita juga harus menghentikan kesempatan itu."

Tapi Sassy terus menutup mata dan bertahan mencintai Alan. Sassy selalu berusaha menyenangkan Alan, dan selalu menyalahkan dirinya untuk semua perlakuan buruk Alan padanya. Sassy kurang langsing, kurang cekatan, kurang merawat diri, dan seribu kurang lainnya, karena itulah Alan membencinya.

Saya memang harus berkali-kali diingatkan agar dapat menjadi perempuan yang sempurna. Mungkin Alan habis kesabarannya. Ya, siapa yang bisa sabar menghadapi saya yang salah dan selalu ceroboh?

Sampai suatu saat, lewat suatu kejadian pahit, Sassy baru melihat sejelas-jelasnya lelaki macam apa sesungguhnya Alan. Pada titik nadir ini, haruskah Sassy mencoba lagi mempertahankan pernikahan mereka?

Dahulu, yang terbayang dalam benak saya ketika mendengar kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah, keluarga-keluarga yang memiliki taraf hidup menengah ke bawah. Mereka yang harus bergumul tiap hari dengan kerasnya tekanan hidup bisa berubah menjadi orang lain yang lebih hampa, lebih sedikit empati.

Dulu saya pikir, yang bisa menjadi korban KDRT hanyalah anak-anak dan para perempuan yang tingkat pendidikannya rendah, atau yang bergantung sepenuhnya secara finansial kepada suami mereka. Mereka cenderung memiliki posisi tawar yang lemah dalam rumah tangga, tidak berhak mengambil keputusan penting dan lebih banyak bersikap pasif. Satu lagi. Dulu saya pikir, KDRT bukanlah kisah yang akan dialami oleh pasangan yang menikah karena cinta dan rasa sayang. Masa iya sih, kita tega menyakiti orang yang kita cintai?

Tapi setelah membaca Tea For Two, saya harus berpikir ulang tentang semua hal di atas. Sassy adalah perempuan yang berpendidikan dan mandiri, bahkan berhasil membesarkan perusahaannya sendiri dan menjadi sumber nafkah bagi puluhan karyawannya. Seharusnya, dengan apa yang dimilikinya, Sassy bukanlah seorang yang lemah dan tanpa posisi tawar dalam rumah tangga. Tapi atas nama cinta, Sassy bertekuk lutut dan seolah kehilangan logikanya. Ketika mengalami siksaan fisik dan mental, bahkan keselamatannya bisa terancam, dia terus-menerus memaafkan suaminya dan justru mencari-cari kesalahan pada dirinya sendiri. Sassy baru terbuka matanya dengan bantuan ibu dan sahabat-sahabatnya.

Tak seperti kebanyakan novel yang mengisahkan pernikahan yang indah dan manis, Tea For Two mengupas sisi kelamnya. Bahwa ternyata KDRT bisa dialami siapa saja. Tak peduli tingkat pendidikan atau taraf ekonominya. Para korban sering menganggap dirinya lah yang bersalah, dan pantas diperlakukan buruk oleh penyiksanya. Alasan lain korban enggan meninggalkan pasangan yang abusif adalah, malu jadi janda. Seperti yang Sassy rasakan:

Saya malu jika bercerai. Perceraian bukanlah keberhasilan yang pantas dibanggakan.

Dalam ajaran agama yang saya anut, ikrar pernikahan adalah janji sakral dan agung yang disaksikan oleh Tuhan, dan bahkan bernilai ibadah di mata-Nya. Perceraian suami-istri adalah hal yang dibenci-Nya. Tapi pada kondisi di mana pernikahan tidak lagi kondusif untuk terwujudnya keluarga yang sakinah, dan semua jalan damai yang sudah ditempuh berujung buntu... Sehingga mempertahankannya akan membawa lebih banyak keburukan ketimbang kebaikan... Apa boleh buat! Pernikahan  itu harus diakhiri. Misalnya, karena pasangan berulang kali berkhianat atau suka menganiaya.

Di sini, peran orang-orang terdekat sangat penting untuk menjaga dan mendampingi korban dalam masa sulit; menyadarkannya kembali bahwa dia adalah manusia setara seperti lainnya, yang berhak dicintai dan dihargai, bukan disakiti. 

"Kamu tidak sepantasnya berada dalam hubungan yang merusak seperti ini. Kamu punya pilihan."

Last but not least, salah satu kutipan favorit saya adalah ini:

"Jangan takut memperbaiki kehidupan, jangan takut menjadi baru."


Rabu, 16 April 2014

Jangan Ragu Lagi Berobat TB, Gratis Kok!


Berprestasi adalah hal yang layak dibanggakan, tapi kalau soal angka kejadian penyakit? Ngga banget! Namun apa mau dikata, Indonesia punya “prestasi” yang perlu direnungkan. Negeri kita ini ternyata menduduki peringkat keempat di dunia untuk jumlah kasus tuberkulosis setelah China, India, dan Afrika Selatan. Setiap tahunnya, diperkirakan ada 460.000 orang penderita TB baru di Indonesia.

Wow. Bisa dibayangkan betapa banyak orang yang kualitas hidupnya menurun karena masalah kesehatan ini. Apalagi, sebagian besar pasien TB adalah remaja dan orang dewasa usia produktif (15-55 tahun) yang seharusnya sedang dalam masa keemasannya untuk berkarya. Tuberkulosis membuat mereka tidak bisa bekerja maksimal karena fisik yang mudah lelah, atau mengorbankan waktu bersekolah untuk kontrol dan berobat berkali-kali.

Belum lagi bila dianggap sebagai pembawa penyakit kutukan sehingga dikucilkan masyarakat, makin bertambahlah kesusahan mereka. Tidak sedikit penderita TB yang penyakitnya bertambah parah dan akhirnya meninggal. Di Indonesia ada 67.000 nyawa yang terenggut setiap tahunnya karena penyakit ini.

Sedih ya?

Jadi, jangan anggap sepele bila kita atau orang-orang terdekat kita mengalami gejala penyakit tuberkulosis seperti batuk berdahak yang tidak sembuh-sembuh setelah dua minggu, nafsu makan dan berat badan yang menurun drastis, demam, dan sakit di dada. Segeralah memeriksakan kesehatan diri ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Jika itu memang TB, semakin cepat terdeteksi, semakin baik. Karena semakin awal pula penyakit bisa diobati sebelum terlanjur parah.

Jangan takut! Penyakit tuberkulosis bisa sembuh, asalkan kita menjalani pengobatan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Obat yang diberikan biasanya dalam bentuk tablet kombinasi atau paket, berisi kombinasi obat Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid dan Etambutol. Obat-obat tersebut harus diminum sesuai dosis yang ditentukan dokter, setiap hari selama enam bulan, ngga boleh putus!


Minum banyak obat dan berkali-kali kontrol ke dokter, biayanya pasti mahal tuh! Eh, ternyata tidak lho. Masyarakat bisa memeriksakan diri tanpa dipungut biaya di puskesmas/ rumah sakit pemerintah. Selain itu, obat-obat TB juga diberikan cuma-cuma, sampai pasien sembuh! Pasien yang masih berobat ke rumah sakit swasta boleh kok meminta dirujuk ke puskesmas/ rumah sakit pemerintah, supaya bisa mendapatkan fasilitas pengobatan gratis ini.

Sayangnya, menurut Subdit TB Kemenkes RI, ternyata baru 19 persen masyarakat yang tahu tentang program ini. Banyak penderita TB yang enggan berobat hingga tuntas karena keburu ciut memikirkan biayanya. Akibatnya, kondisi kesehatan mereka dapat bertambah lemah nantinya, bahkan sampai meninggal dunia. Yang lebih menakutkan lagi, jika tak diobati, mereka dapat menulari orang lain. Bayangkan, dalam setahun, satu orang penderita tuberkulosis bisa menularkan penyakitnya kepada 10-15 orang!

Horor kan?

Jadi, inilah tugas saya dan kamu yang sudah membaca blog ini! Kita harus menyebarluaskan apa yang kita tahu pada orang-orang di sekitar kita. Jangan biarkan teman-teman dan orang-orang yang kita sayangi terus dihantui penyakit tuberkulosis hanya karena mereka takut tidak punya cukup uang untuk berobat.

Ayo kita teriak rame-rame, “Jangan ragu lagi berobat TB, gratis kok!” 



*


Referensi:


Selasa, 15 April 2014

Butterfly Effect


Airin berdiri gamang di pinggir tebing. Diabaikannya nyeri berdenyut-denyut yang merambati tulang-tulangnya. Ia menunduk pada hamparan laut maha luas di bawahnya. Jauh di bawah tempatnya berpijak, ada segerombolan batu karang yang  tegak tak bergeming setiap kali ombak datang menghantam.
Tempat yang sempurna untuk mati.
“Hei! Mau bunuh diri ya??”
Airin terlonjak. Selama sedetik, ia dilanda panik seperti bocah yang tertangkap basah hendak berbuat onar. Detik berikutnya, saat berbalik untuk melihat siapa yang datang, ia merasa sangat marah.
Dia sudah capek-capek agar bisa sampai di puncak tebing sialan ini. Sebelumnya, dia harus menyelinap pergi dari rombongannya di The Pirates Bay. Airin berbohong pada ketua grup bahwa ia lelah dan butuh istirahat. Muslihat kedua adalah yang dia katakan pada ayahnya, bahwa dia tidak sengaja menjatuhkan pil-pilnya ke lubang toilet dan ayahnya harus mencarikan gantinya di apotek. Obat pain killer itu hanya bisa didapat dengan resep dokter (yang sudah diselipkannya di koper supaya sulit ditemukan) dan tidak dijual di sembarang apotek. Ayahnya akan butuh waktu lama sebelum kembali dengan obat itu. Setidaknya cukup lama bagi Airin untuk menuntaskan rencananya.
Pengganggu tak diundang itu seorang gadis seusia Airin. Wajahnya pucat, kontras dengan bandana warna merah cerah bermotif khas Bali yang ia pakai di bawah topi anyaman lebarnya. Airin mengenali wajah sembab dan pipi gembil gadis itu sebagai salah satu efek samping kemoterapi. Moon face.
Cardigan tebal dan celana jins tampak terlalu longgar di tubuhnya yang kurus. Walau tidak memakai name tag dan kaus bertuliskan I’m a cancer survivor seperti yang lainnya, ia pasti salah satu peserta family gathering yang Airin ikuti.
Artinya, gadis ini sama sekaratnya denganku.
“Kulihat sudah satu jam  kamu berdiri di sini,” aksen Bali gadis itu terdengar lucu dan unik di telinga Airin. Gadis itu menatapnya lekat-lekat.
“Yah... Aku cuma cari angin segar sebentar.”
 “Cari angin?” Gadis itu menghampiri Airin. Langkahnya agak terpincang-pincang. Mereka kini begitu dekat, sampai Airin bisa melihat sebuah bekas luka halus memanjang di leher gadis itu. “Bukannya cari mati?”
“Apa??” Airin tertawa sumbang. “Kamu gila ya?”
Gadis itu dengan cueknya mengulurkan tangannya.
“Ngomong-ngomong, aku Ni Putu Widya. Boleh panggil Putu. Atau Widya. Osteosarkoma1 stadium empat. Satu lutut sudah diamputasi,” dia memperlihatkan kaki palsunya tanpa rasa jengah, “pernah kemo dua kali, tapi kanker ini rupanya jauh lebih tangguh dari dugaanku. Menyebalkan.” Dia memutar kedua bola matanya.
Airin sudah familiar dengan kalimat perkenalan ala cancer survivor itu. Setelah diam cukup lama, Airin menyambut uluran tangannya dengan enggan.
“Airin.“ Airin tak sudi menyebutkan nama lengkap dan riwayat penyakitnya.
“Setelah bertahun-tahun jadi anggota yayasan kanker ini, aku cukup banyak makan asam-garam kehidupan,” gaya Widya seperti nenek yang memberi petuah pada cucunya.
“Sebagian besar temanku di sini sudah meninggal. Aku bisa tahu tampang orang yang ingin sembuh, atau sebaliknya, ingin segera mati. Dan kamu, Airin,” dia menatap Airin tepat di matanya, “ingin mati.”
Airin memicingkan mata. “Sinting.”
“Jadi kamu bukan mau terjun ke laut?”
“Mau terjun kek. Mau disko kek. Bukan urusan kamu.”
“Kamu ikut aku kembali sekarang juga, atau aku bakal lapor sama Bli2 Agung bahwa kamu berulah!” Ancaman itu diucapkan dengan nada santai. Airin menahan diri untuk tidak menyemprot tukang ikut campur urusan orang ini. Dia tidak ingin cari masalah dengan Bli Agung, ketua grupnya.
Terutama sekarang, saat rasa nyeri yang sangat dikenalinya tak bisa lagi diacuhkan. Airin menyeka keringat dingin di dahinya. Dia butuh obatnya.
“Oke, kita turun. Aku bisa coba terjun lagi lain kali,” jawab Airin sinis.
Widya mengekori langkah-langkah Airin kembali ke pantai, menyelinap di antara teman-teman mereka yang asyik merakit dan melukis layang-layang. 


Saat tiba di rumah pohon tempat ayahnya menyimpan persediaan obat, Airin merasa seolah setiap ruas tulangnya sedang dihantam palu. Sedikit gemetar, diraihnya sebotol kecil pil dan air mineral kemasan dari backpack-nya. Isinya tinggal dua butir, karena Airin sudah membuang sisanya ke lubang toilet tadi siang, supaya punya alasan untuk menyuruh ayahnya pergi.
Jenius. Airin mengejek diri sendiri. Kalau ayah ternyata tidak berhasil mendapatkan obat untuknya malam ini, gawatlah. Airin akan mengerang-erang kesakitan sampai besok pagi!
Dengan cepat, sebutir pil dan seteguk air berpindah ke kerongkongannya. Mencoba rileks, Airin menyandarkan tubuhnya, menunggu obat itu bekerja.
Airin menarik nafas dalam-dalam, menikmati angin laut yang hangat dan beraroma garam. Diamatinya interior rumah pohon itu. Sederhana, tapi nyaman. Lantai dan tiang-tiang penyangga rumah mungil ini adalah bambu kokoh dalam berbagai ukuran. Airin tak yakin apakah atapnya terbuat ijuk atau sirap, tapi dia suka melihat ujung-ujung helai atap itu bergoyang lembut saat tertiup angin. Tidak ada pintu atau pun jendela, seolah seluruh bagian rumah ini dan alam sekelilingnya adalah satu.


Perlahan tapi pasti, rasa sakit memudar dari tubuh Airin, seperti kabut yang menghilang tersapu sinar matahari.
“Aku cinta morfin,” kata Airin penuh perasaan.
Widya tersenyum mafhum.
“Aku batal terjun dari atas tebing. Puas? Kamu bisa pergi sekarang.”
“Bukannya aku sok pahlawan mau menyelamatkan kamu ya. Sakit kanker itu memang nggak enak. Tapi apa harus bunuh diri?” seloroh Widya.
“Memang kenapa?”
“Itu egois, Anak Kecil!”
“Egois?” Airin jadi sewot, “Bukannya bagus? Makin cepat aku mati, makin baik. Aku tidak perlu menunggu maut dalam kesakitan, atau merepotkan orang-orang.
“Maksudmu, makin cepat kamu  mati, makin sedikit kamu nyusahin orang lain? Kalau gitu, kamu mati di rumah saja. Minum racun atau apa lah! Kalau kamu bunuh diri di tempat umum seperti ini, justru kamu akan menyusahkan banyak orang.”
Airin melotot. Cewek ini kok ngelantur! Tapi toh masih ada waktu sebelum orang-orang sadar dia telah kabur dari rombongan. Coba dia dengar dulu apa maunya si Widya ini.
 “Tempat keren ini bisa dianggap sial. Turis-turis tidak akan mau datang lagi ke The Pirates Bay. Belum lagi semua peserta acara ini pasti syok lihat mayat kamu yang mengenaskan. Bukannya ingin sembuh, jangan-jangan mereka malah ingin mati juga!”
“Astaga. Kebanyakan baca novel ya kamu?”
“Kebanyakan nonton film, tepatnya. Aku suka nonton film. Kamu?”
“Aku justru paling suka baca novel,” Airin menggaruk hidungnya yang tak gatal, tidak habis pikir kenapa dia mau duduk di sini, ngobrol akrab bareng orang yang memergokinya hendak bunuh diri. Situasi yang aneh.
“Oh?” Widya tampak antusias. “Punya penulis favorit?”
“Ernest Hemingway.” Orang-orang sering meledek selera Airin yang sok tua, tapi Widya kelihatannya sama sekali belum pernah mendengar nama sastrawan dunia itu.
“Hebat. Dia masih hidup?”
“Dia... Mati bunuh diri,” Airin berdeham kikuk, “dengan senapan.”
Widya terbahak-bahak. “Jadi kamu mau meniru idolamu, gitu?”
“Buat apa hidup terus kalau nggak bahagia?” Airin mengajukan alasan.
“Kenapa kamu pikir kamu tidak bahagia?”
Airin menghela nafas. “Karena hidupku tidak berarti lagi buat siapa-siapa. Aku sekarat dan nggak berguna.”
“Ayahmu? Teman-temanmu? Kamu pasti ada artinya untuk mereka kan?”
“Teman-teman senasibku juga sudah banyak yang meninggal, Widya. Teman-temanku yang lain, mereka akan melanjutkan hidup dan melupakanku. Ayahku juga.”
Airmata bergulir turun di pipi Airin. Ia menatap jauh ke cakrawala. Di sana matahari meluncur turun perlahan dengan malas, lalu menghilang. Seperti tak rela dirinya harus tenggelam, tapi toh dia tak bisa melawan kodrat alam yang sudah digariskan untuknya: terbit setiap pagi, dan tenggelam menjelang malam.
“Pernah nonton film Butterfly Effect?” tanya Widya.
“Belum.”
“Yang paling keren dari film itu adalah ide ceritanya...,” jelas Widya tanpa diminta, “bahwa kita dan setiap manusia di dunia ini punya peran penting. Mungkin peran itu sepele. Atau cuma sekelebat. Seringan kepak sayap kupu-kupu. Tapi satu kepakan itu bisa mengubah hidup orang lain! Misalnya, coba lihat pasangan kekasih dekat kapal nelayan itu.”
Airin memandang seorang gadis berkain lilit Bali sedang beradu mulut dengan seorang pemuda. Si pemuda akan beranjak ke kapal karena dua sahabatnya sudah menunggunya di sana, tapi si gadis berlari pergi sambil menangis. Si pemuda tampak jengkel, tapi bimbang antara mengejar kekasihnya untuk berdamai, atau pergi. Akhirnya dia memutuskan langsung naik ke kapal yang membawanya pergi dari bibir pantai.
Andai perahu mereka mengalami kecelakaan dan kedua temannya selamat, sedangkan pemuda itu tidak. Mungkin gadis itu akan lama menyesal kenapa mereka berpisah dalam keadaan saling membenci? Tiga tahun kemudian gadis itu masih belum memaafkan dirinya, lalu menolak cinta seorang pemuda lain. Padahal kalau saja mereka menikah, setahun kemudian mereka akan punya seorang anak laki-laki yang tiga puluh tahun berikutnya akan menciptakan kapal canggih yang tahan hantaman ombak dan karang. Dengan itu, dia mencegah terjadinya puluhan kecelakaan kapal dan menyelamatkan banyak nyawa nelayan.”
“Imajinasimu terlalu dramatis!” protes Airin. “Tapi aku mulai ngerti. Andai mereka sudah saling memaafkan sebelum berpisah, tentu gadis itu tidak akan menyesal berlarut-larut, dan akhir ceritanya bisa jauh berbeda. Gitu?”
“Ternyata kamu pinter juga.” Airin mengabaikan ejekan itu.
“Sisa waktuku sedikit. Peranku, apa pun itu, sudah selesai. Aku nggak pernah menyelamatkan nyawa siapa pun atau mengubah dunia jadi lebih baik. Mungkin ketiadaanku malah akan membuat hidup orang lain jadi lebih baik,” kata Airin getir.
“Kamu nggak tahu, Airin! Peran kamu, yang kamu anggap tidak berharga itu, besar artinya untuk kebahagiaan orang lain. Kamu menyelamatkanku.”
Airin merasa kepalanya memberat. Morfin selalu membuatnya begitu. Tapi...
“Apa maksudmu, Widya?” Airin terhanyut kantuknya. “Aku... Menyelamatkanmu?”
Widya tersenyum teduh padanya.
“Kamu penyelamatku. Matur suksma3, Airin.”
Belum pernah Airin merasa selelah ini. Mungkin dia harus istirahat sebentar...
*
“Kakak kok sendirian di sini? Airin temenin ya...”
“Airin, ayo turun, Sayang. Jangan ke sana! Airin!!! Aaaa!!!!!”
Airin belum pernah merasa begitu haus akan udara ketika terbangun dari mimpi. Sambil terengah, mata Airin nyalang mencari-cari seseorang. Ayahnya duduk tegak di sisinya, menatap cemas. Bli Agung juga sudah ada di sana.
“Mana Widya?”
Mimpi itu membuka lembar ingatan Airin pada sebuah kejadian di masa lalu. Kala itu, Airin baru berumur enam tahun. Dan pantai Nusa Dua belum seramai sekarang.
“Widya siapa?” tanya ayah Airin.
“Tadi dia di sini. Dia ikut acara ini juga.”
“Mungkin dia sudah tidur di tenda atau di rumah pohon lain.” Kata Ayah
“Nggak ada peserta bernama Widya. Mungkin turis biasa,” Bli membaca data para peserta yang selalu dibawanya kemana-mana, lalu menggeleng yakin.
“Bukan, Bli,” Airin menggeleng-geleng tak sabar. “Dia anggota yayasan. Anaknya kurus, pakai bandana merah. Ada bekas luka di lehernya...” 
“Kakak kok sendirian di sini?Airin temenin ya...”
Gadis itu menoleh. Rautnya waspada, tapi tidak menolak saat Airin menghampirinya di tepi tebing. Senyum perlahan muncul di bibir gadis itu.
“Mestinya kamu yang nggak boleh kesini sendirian, Anak kecil.”
Bli Agung menatap Airin lurus-lurus. “Di leher?”
“Namaku Airin, Kak, bukan Anak kecil!”
Gadis itu tertawa. Rambutnya tersibak angin, memperlihatkan segores luka di leher.
“Hai, Airin. Aku Ni Putu Widya. Boleh panggil Putu. Atau Widya.”
“Tepat di sini, Bli,” Airin memperagakan bentuk luka Widya pada lehernya sendiri. “Widya... Namanya... Ni Putu Widya! Dia mengoceh panjang lebar soal film kesukaannya...”
“Butterfly Effect.” Airin dan Bli Agung menyebut dua kata itu berbarengan. Keduanya saling menatap tak percaya.
*
“Jadi, Widya adalah adik Bli?”
Airin masih sulit menerima kebetulan yang aneh ituLebih aneh dari fiksi.
Bli Agung menghela nafas panjang, lalu mengangguk. Berusaha menggali lagi kenangan tentang orang yang disayanginya. Tatapannya menerawang ke dalam kobaran api unggun di depan tenda tempat mereka berdua duduk.

“Dia anak baik. Sayang kamu hanya sempat berjumpa dengan rohnya...”
“Sebenarnya, Airin sudah kenal Widya, Bli... Waktu dia masih hidup.”
Bli Agung mendongakkan wajahnya yang sejak tadi tertunduk. “Kapan?”
“Waktu itu Airin sedang berlibur ke sini sama Ayah. Itu liburan pertama kami sejak Ibu tewas dalam kecelakaan mobil, setahun sebelumnya. Ayah ingin menghibur Airin yang masih sering sedih. Waktu Ayah sedang bicara dengan tour guide, Airin lepas dari penglihatan Ayah dan asyik menjelajah sendiri. Entah gimana caranya, Airin bisa naik sampai ke tebing sana.” Airin menunjuk tebing karang tempatnya bertemu dengan Widya.
“Di sana... Ada Widya. Sendirian di ujung tebing. Kelihatan sedih dan kesepian, seperti Airin waktu Ibu baru meninggal. Airin sapa dia... Airin ingin menemani dan menghiburnya. Tiba-tiba, Ayah memanggil-manggil Airin dari bawah. Ayah berusaha menyusul dan mengajak Airin turun, karena di situ berbahaya...
“Airin ceroboh. Airin terpeleset dan nyaris jatuh ke laut, tapi Widya berhasil menangkap tubuh Airin sebelum terlambat. Airin selamat karena pertolongan Widya!”
“Waktu pertama kali tahu kena kanker, dia seumur kamu, Rin. Dia tergila-gila pada film. Butterfly Effect itu kesukaannya, yang membuatnya ingin menciptakan film-film yang bisa menginspirasi hidup orang lain. Mimpi itu adalah salah satu hal yang bikin Widya gigih melawan penyakitnya,” ceritanya dengan suara parau.
“Bapa4, Meme5 dan Bli sedih melihat dia bertambah tirus dan lemah. Ah.. Mengapa Sang Hyang Widhi6 sampai hati memberinya cobaan seberat itu? Airin tentu tahu, kemoterapi mungkin hampir sama beratnya dengan kanker itu sendiri...
 “Widya tetap tabah dan percaya dia akan sembuh. Diaantusias bisa menjadi anggota yayasan ini dan bertemu banyak teman senasib. Tapi lambat laun harapan Widya pupus. Setelah kemoterapi yang panjang, sel-sel kankernya tidak merespon. Bahkan menyebar ke liver dan paru-paru... Widya menolak mencoba kemo lagi. 
“Dia sudah putus asa. Dia pernah... mencoba mengakhiri hidupnya, Rin. Bekas luka di leher itu buktinya. Hari itu, Widya menemui Bli sambil menangis. Dia bilang, dia hampir berbuat tolol, terjun dari puncak tebing, kalau saja tidak dicegah oleh seseorang. Widya tak pernah melupakan penyelamatnya itu, sampai akhirnya dia meninggal enam bulan sesudahnya. Ternyata kamulah orangnya, Airin.”
Airin mengusap airmata di pipinya, lalu menggeleng bingung.
“Tapi justru Widya yang sudah menolong nyawa Airin waktu itu.”
“Menolongmu telah menyadarkannya bahwa hidupnya masih punya arti. Itu yang membuatnya memutuskan bertahan, sampai akhir hayatnya.”
Setiap manusia di dunia ini punya peran penting. Mungkin sepele, cuma sekelebat. Seringan kepak sayap kupu-kupu. Tapi satu kepakan sayap itu bisa mengubah hidup orang lain.
Airin mengerti sekarang. Pertemuan mereka di pantai Nusa Dua belasan tahun lalu, kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa Airin, dan pertemuan mereka kembali di sini, semua adalah mata-mata rantai yang saling bertaut, bersebab akibat. Kepak-kepak sayap kupu-kupu yang saling bersentuhan. Widya dan dirinya... saling menyelamatkan satu sama lain.
Airin berbisik, “Butterfly Effect.” 

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!


1.      Osteosarkoma       : sejenis kanker tulang; umumnya menyerang remaja dan orang  
  dewasa usia produktif.
2.      Bli                         : panggilan orang Bali untuk kakak laki-laki
3.      Matur suksma       : terima kasih
4.      Bapa                     : ayah
5.      Meme                   : ibu

6.      Sang Hyang Widhi : Tuhan Yang Esa

Rabu, 09 April 2014

Yakin Mau Golput? Pikir-pikir Dulu Deh!


Kemarin malam saya ngobrol panjang lebar via telepon dengan suami. Salah satu topik seru yang kami bahas adalah tentang pemilu tanggal 9 April 2014. Ternyata, suami saya bakal golput! Bukan golput karena berdalih semua partai busuk sehingga tidak ada yang layak dipilih. Bukan juga karena apatis; tidak tahu siapa caleg yang akan dipilih dan tidak mau repot-repot mencari tahu.

Suami saya tidak bisa hadir di TPS dekat tempat tinggal kami untuk menggunakan hak suara, karena dia sedang bertugas, tidak berada di Jakarta. Sementara di tempat tugasnya, sebuah kawasan lepas pantai, tidak ada fasilitas tempat pemungutan suara (TPS). Begitu pula puluhan rekan kerjanya di sana, tampaknya akan bernasib sama. Terpaksa golput! 

Sayang sekali KPU tidak mengadakan TPS keliling, dengan boat misalnya. Apa dari biaya pemilu yang dialokasikan pemerintah sebesar 14,4 trilyun itu ngga bisa dianggarkan sebagian untuk memfasilitasi orang-orang seperti suami saya dan rekan-rekannya? Yang bekerja di lokasi khusus, dan notabene memberi pemasukan yang lumayan untuk negara lho.

Kecewa dan rugi rasanya ngga bisa ikut nyoblos. Walau hanya bisa memberi satu suara, tapi setidaknya kita menunaikan tanggung jawab sebagai warga negara. Bagaimana nasib Indonesia di masa depan? Makin maju dan disegani bangsa lain, atau malah makin payah dan akhirnya cuma tinggal sejarah? Itu tergantung siapa orang-orang yang akan memimpin Indonesia kan? Kalau orang-orang yang terpilih baik, masa depan kita tentu cerah. Sebaliknya, kalau mereka licik dan oportunis, yaa bayangin aja deh apa jadinya.

Siapa yang bisa menentukan pemimpin Indonesia baik atau bejat? Yap, kita! Kita, lewat surat suara yang kita coblos di TPS.

Di satu sisi, ada orang-orang yang ingin nyoblos tapi ngga ada fasilitasnya. Di sisi lain, masih ada sebagian orang yang sudah punya kemudahan untuk memberi suara, malah menyia-nyiakannya. Golput.

Menurut saya, golput itu sikap yang egois dan tak bertanggung jawab. Tidak mau ambil pusing soal siapa yang akan memimpin, membuat kebijakan dan perubahan. Tapi lihat nanti deh... ketika orang-orang yang terpilih jadi pemimpin adalah orang-orang yang kinerjanya jelek, para golputer termasuk golongan yang paling banyak nyinyir.

"Tuh kan dia korupsi. Untung waktu pemilu dulu saya golput dan ngga milih dia."

Merasa beruntung karena ngga memilih kandidat yang ternyata buruk? Tapi dengan golput tidak memilih siapa-siapa, apa kandidat yang baik dan jujur bisa menang? Tidak kan? Golput does not bring you to any better place.

"Kok bisa partai sebejat itu jadi pemenang pemilu, dan mayoritas kadernya jadi anggota dewan?"

Terus siapa yang mau disalahkan? Orang-orang yang memilih partai itu? Atau orang-orang golput yang seandainya saja mau berpartisipasi dalam pemilu, mungkin bisa mendongkrak perolehan suara partai yang bersih, dan dengan begitu, berhasil mencegah kemenangan partai bejat tadi? Jangan pernah mencela hasil yang buruk kalau sejak awal memang ngga pernah ikut berusaha memperoleh yang baik.

                                       

Tadi saya nemu quote nyentil milik Paulo Coelho ini. "Jika kamu bersikap seperti seorang korban, biasanya kamu akan jadi korban betulan." Menurut saya kata-kata Opa Coelho ini pas banget untuk menggambarkan golput. Dengan memilih golput, seseorang telah bersikap seperti korban yang tak berdaya. Pasrah menyerahkan diri untuk dipimpin siapa saja. Pasrah menerima kebijakan-kebijakan apapun yang nantinya ditelurkan oleh pemerintah yang berkuasa. Mau anggaran kesehatan yang kurang dari 5% itu dipangkas lagi, silakan. Atau gaji dan tunjangan anggota DPR yang sudah setinggi Monas itu mau dinaikkan, monggo wae. Kalau sudah begitu, artinya golputer sudah jadi korban betulan. Korban kebijakan pemerintah yang zalim. 

Jadi, yakin mau golput? Pikir-pikir dulu deh!


Senin, 07 April 2014

(Book Review) Rahasia Hidup Lebah


Judul        : Rahasia Hidup Lebah
Penulis     : Sue Monk Kidd
Penerbit   : GagasMedia
Tebal       : 412 halaman

Biasanya, saya tertarik menonton film adaptasi dari novel-novel yang pernah saya baca. Penasaran sih, ingin membandingkan imajinasi yang ada di kepala saya saat membaca buku itu, dengan imajinasi si pembuat film yang berusaha memvisualkannya ke layar lebar.

Rahasia Hidup Lebah, saya justru baru tahu buku ini dari filmnya yang berjudul The Secret Life of Bees; sama seperti judul asli novelnya. Dibintangi oleh Dakota Fanning yang masih imut-imut, film itu sangat berkesan buat saya. Temanya menggelitik, tentang keluarga dan rasisme. Setelah itu langsung hunting novelnya, dan... sama kerennya dengan versi film!


Lily Melissa Owens adalah gadis 14 tahun, anak pemilik kebun persik yang hidup di luar kota Sylvan, South Carolina. Lily kesepian dan selalu merindukan ibunya, yang tewas karena kecelakaan pistol saat Lily berumur 4 tahun. Lily tak ingat persis kejadiannya, tapi selalu merasa dialah penyebab kematian sang ibu. 

Yang paling kuinginkan di dunia ini hanyalah ibuku. Dan, aku sendiri yang telah merenggutnya dari sisiku. 

T. Ray, ayahnya, adalah satu-satunya keluarga yang tersisa, sekaligus dibencinya. T. Ray mendidik Lily dengan cemooh dan hukuman. Lily suka membaca dan gurunya di sekolah bilang, dengan kecerdasan Lily, kelak dia bisa jadi seorang penulis. Tapi T. Ray menganggap semua itu tidak berguna. Menurutnya, membaca itu cuma buang waktu, tidak menghasilkan uang, dan hanya untuk para pemalas. Dia lebih suka Lily bekerja membantunya berjualan persik. 

Lily tumbuh menjadi gadis yang tidak populer, minder dan tanpa teman. Lily tak pernah repot-repot memanggil 'Ayah' pada T. Ray, karena sebutan itu terlalu indah dan hangat untuk disematkan padanya. 

"Ayahku--kupanggil T. Ray karena sebutan 'Daddy' tidak cocok untuknya."

Meski bilang benci, tapi sebetulnya dalam hati Lily berharap T. Ray masih punya sedikit cinta untuknya, meski itu cuma seulas senyum atau satu pujian saja. Sayang, Lily tak pernah mendapatkannya. Penghibur hati Lily hanyalah barang-barang peninggalan ibunya. Syukurlah Lily punya Rosaleen Daise, perempuan tambun berkulit hitam yang mengasuh Lily sejak ibunya wafat. Walau tidak berpendidikan dan cerewet, Rosaleen menyayangi Lily, dan setidaknya bisa menggantikan sosok ibu yang hilang dari hidupnya.

Pada tahun 1964, UU Hak Sipil baru saja diresmikan di Amerika Serikat. Warga kulit berwarna, yang tadinya tak boleh berkontribusi dalam pemilu, kini berhak untuk memberi suara. Pada masa ini pula, mulai bermunculan gerakan yang menuntut kesetaraan hak antara warga kulit putih dan kulit berwarna. Tapi nyatanya, masih banyak warga kulit putih yang menentang hal itu. Mereka menganggap ras kulit putih adalah ras paling unggul di dunia, berhak memimpin ras-ras lainnya. 

Siapa sangka di negara (yang katanya) demokratis seperti Amerika Serikat, ternyata pernah ada rasisme yang sebegitu masifnya. Orang-orang berkulit putih leluasa bersekolah sampai tingkat perguruan tinggi, berkarier menjadi pengacara, dokter bahkan presiden, dan bebas pergi kemana mereka suka. 

Orang-orang dengan kulit berwarna hanya jadi warga kelas dua. Dieksploitasi untuk dijadikan buruh kasar, pekerja ladang, pembantu rumah tangga dan pengasuh anak berupah rendah, yang dianggap 'benda milik' sehingga bisa diwariskan atau diberikan pada orang lain. Mereka juga kerap jadi sasaran bullying orang kulit putih dan diperlakukan diskriminatif. Banyak toko, restoran, gereja, bahkan toilet umum yang dipasangi tulisan "White Only" alias khusus untuk orang kulit putih. Jika berpapasan dengan orang kulit putih di tengah jalan, maka mereka harus menepi sampai si kulit putih lewat. 

Hih. Primitif kan? Maksud saya, masa sampai mau beribadah di gereja aja mereka harus dipisah berdasarkan warna kulit? Ironis banget, mengingat bahwa bukankah semua manusia di hadapan Tuhan itu sama saja? Apapun rupa, keturunan dan warna kulitnya. 

Untuk menikmati fasilitas umum saja, warga kulit berwarna dinomorduakan, apalagi dalam pemilu. Mereka sama sekali tak punya hak memberi suara. Maka UU Hak Sipil ini disambut gembira oleh warga kulit berwarna. Namun wilayah selatan AS, termasuk daerah tempat Lily tinggal, masih kental akan rasisme. Orang-orang yang mendukung kesetaraan hak tidak bisa terang-terangan menunjukkannya, kalau tidak mau ditindas. Siapa yang kritis membela kaum kulit berwarna bisa dicap pembangkang, dipenjarakan karena berbagai alasan yg dibuat-buat, bahkan bisa berakhir tewas dibunuh secara misterius.

Itu semua tidak membuat Rosaleen yang keras kepala, gentar. Dia tetap antusias ingin pergi ke Kota untuk memberi hak suaranya. Lily yang tidak suka tinggal di rumah sendirian bersama T. Ray, ikut bersama Rosaleen. Di tengah jalan, segerombolan lelaki kulit putih menghina Rosaleen. Lily memperingatkan Rosaleen untuk tidak menanggapinya, tapi Rosaleen malah bersikap menantang dan berulah dengan orang-orang itu. Bisa ditebak, Rosaleen dikeroyok dan dipenjara dengan tuduhan palsu, penyerangan. Malah, dia juga dianiaya selama di bui, sampai harus dirawat di rumah sakit. Dijaga polisi tentunya, supaya setelah diizinkan pulang oleh dokter, dia bisa digelandang kembali ke penjara.

Lily bertengkar dengan T. Ray karena lelaki itu tak sudi membantu Rosaleen. Sampai T. Ray mengungkit tentang siapa penyebab terbunuhnya ibu Lily, dan peristiwa di balik itu... Hari itu juga, Lily memutuskan dia akan menyelamatkan Rosaleen, lalu pergi dari rumah. Selamanya. Inilah salah satu bagian cerita yang saya suka, di mana Lily berhasil memperdaya pastur dan polisi demi membawa kabur Rosaleen dari rumah sakit. Licik tapi tetap innocent

Dari sini petualangan Lily yg sesungguhnya dimulai. Iya lah, soalnya Lily sendiri tidak tahu kota macam apa yang akan mereka tuju, kecuali berbekal sebuah barang peninggalan ibunya: selembar gambar bunda Maria berkulit hitam, di baliknya tercantum kata-kata "Tiburon, S.C" dengan tulisan tangan. Dia tahu ibunya pernah pergi ke sana, dan mungkin jika Lily juga ke sana, ia akan memperoleh jawaban teka-teki kematian ibunya.

Perjalanan mereka melelahkan, belum lagi Lily harus mengarang cerita setiap ada orang yang curiga. Di masa itu, orang kulit putih dan kulit hitam yang ngobrol bareng, makan bersama di satu meja, atau bepergian bersama dianggap janggal, bahkan tabu. Selain itu, Lily cemas mereka akan jadi buronan polisi. Di tengah kekacauan itu, Lily menemukan bahwa gambar Maria berkulit hitam milik ibunya berasal dari label stoples madu bermerk Black Madonna Honey. Madu itu berasal dari peternakan lebah milik keluarga kulit hitam, Boatwright.
Lily sangat berharap ini adalah petunjuk yang akan membawanya pada kebenaran tentang ibunya. Lily datang ke rumah Boatwright, yang dihuni tiga perempuan kakak-beradik nyentrik; August, June, dan May. August, yang tertua, sangat tegas, paling bijaksana di antara ketiganya, dan tahu semua tentang kehidupan lebah. June pecinta musik, kritis, berlidah tajam, sedikit angkuh dan feminis sejati yang enggan menikah. May adalah yang paling aneh; berhati lembut, cepat berganti antara sedih dan gembira, dan punya tumpukan batu di belakang rumah yang disebut "Dinding Ratapan", tempat dia menyimpan kertas-kertas bertuliskan curahan perasaannya.

Kepada mereka, Lily berbohong tentang siapa dirinya. Keluarga Boatwright menerimanya dan Rosaleen untuk tinggal dan bekerja di sana. August mengajarinya beternak lebah dan memanen madu, membuatnya bekerja keras sepanjang hari. Tapi anehnya, bersama orang-orang asing yang berbeda warna kulit ini, Lily merasa berada di tengah keluarga yang sesungguhnya. Lily merasa damai. Nyaman. Betah. 

Ka-ki: August, June, dan May Boatwright
Apalagi ada Zachary Taylor, pekerja August, yang baik, humoris, dan sebaya dengan Lily. Yang bercita-cita jadi pengacara supaya bisa mengubah dunia jadi tempat tinggal yang menyenangkan bagi semua orang, tak peduli apa warna kulitnya. Yang percaya pada cita-cita Lily menjadi penulis dan menghadiahinya buku catatan supaya Lily bisa segera mulai mewujudkannya. Lucu deh waktu Lily mengungkapkan arti Zach bagi dirinya: 

"Kau sepertiga teman, sepertiga kakak laki-laki, sepertiga rekan pengurus lebah, dan sepertiga pacar," kataku kepada Zach. Kami bertatapan sementara aku memikirkan sepertiga mana yang akan dihapuskan. 

Bagaimanapun, Lily dan Zach sadar bahwa perbedaan warna kulit adalah penghalang terbesar kebersamaan mereka. Duh, sedihnya :( Tapi kerennya, ini justru melecut semangat Zach untuk bekerja keras supaya bisa masuk sekolah hukum dan mengejar cita-citanya.

"Kita tidak boleh berpikir untuk mengganti warna kulit kita," ujar Zach. "Ubahlah dunia--itu yang harus kita pikirkan."

Hey, not bad at all, Zach!

Lily dan Zach. Sweet couple :D
Terlepas dari masalah cinta, perlahan masa lalu ibu Lily mulai terungkap. Lily harus berhadapan dengan rahasia besar... Tentang hubungan antara ibunya dengan August Boatwright. Tentang peristiwa sebenarnya di hari kematian ibunya. 

Dan... jika suatu hari T. Ray muncul di hadapannya untuk menyeretnya pulang, apa yang harus dia lakukan? 

*

Rabu, 02 April 2014

Surat untuk Mantan

Dear kamu,

Apa kabar? 

Ini bukanlah surat pertama yang kutulis untukmu. Tapi ya, ini pertama kalinya aku bisa menulis padamu tanpa airmata. Tanpa bertanya-tanya mengapa kamu harus pergi. Tanpa berharap kamu akan pulang padaku lagi.

Kita memang terlalu terbiasa bersama. Berbagi segala. Menjadi dua belahan diri yang hanya utuh saat bersatu. Saling menaungi seperti langit. Saling menjelma udara bagi paru-paru satu sama lain.
Itu sebabnya, saat kamu pergi, aku limbung. Aku tak lengkap. Langitku gelap dan meruntuh. Napasku sesak di ruang hampa udara. Aku kehilangan.

Bagaimana denganmu? Ah. Kamu pasti baik-baik saja kan. Sebab orang-orang bilang padaku, menjadi yang ditinggalkan selalu lebih berat daripada yang pergi. Mereka yang pergi akan menuju kehidupan baru yang lebih baik, sedangkan yang ditinggal pergi harus terus tinggal bersama sisa kenangan. Kamu pergi, dan aku harus berjuang meneruskan hidup hari demi hari sampai rasa kehilangan itu mereda.

Yah. Itulah yang kulakukan selama beberapa tahun ini. Berjalan dan berjalan melewati waktu. Langkahku pelan dan timpang pada mulanya, karena sekujur diriku adalah luka. Tapi waktu adalah penyembuh yang baik. Perlahan, aku pulih. Aku membiasakan diri hidup tanpa kamu. Tanpa senyum dan ucapan selamat pagimu. Tanpa genggaman lembutmu di sela jemari tanganku. Tanpa lelucon-lelucon konyolmu di hari-hari burukku. Tanpa pertengkaran-pertengkaran kecil kita itu, yang selalu berakhir dengan kita saling menertawai kekeraskepalaan masing-masing.

Ternyata aku bisa bertahan. Ternyata aku cukup kuat untuk menata puing-puing langitku lagi. Juga cukup tegar untuk menghirup udara yang dulu kita bagi. Sudah cukup kusangkal takdir, sekarang saatnya berdamai dengannya. Akan kusimpan baik-baik semua keping kenangan kita di ruang hati, seperti menjaga benda paling berharga. Aku janji.

Aku cuma ingin bilang, aku sudah mengikhlaskanmu, Sayang. Hidupku akan baik-baik saja. Jadi, jangan kuatir soal aku.

Seperti biasa, aku akan mengubur surat ini bersama yang lainnya, di bawah rimbun pepohonan. Di samping pusaramu.

Sampai ketemu lagi di surat berikutnya. 


Yang selalu mengingatmu,

Aku.




Tulisan ini diikutsertakan untuk lomba #suratuntukruth novel Bernard Batubara.