Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Sabtu, 29 Maret 2014

Pengobatan Modern vs Pengobatan Alternatif



Akhir-akhir ini makin banyak pengobat alternatif yang mempromosikan jasanya di media massa. Umumnya mereka menawarkan beberapa "kelebihan" yang tak ditemukan pada pengobatan ala ilmu kedokteran. 

Pertama, mereka mengklaim bisa mengobati berbagai macam penyakit, mulai dari wasir, hernia, sampai diabetes, stroke bahkan kanker. Sedangkan di dunia kedokteran, tidak ada yang namanya "dokter dewa" atau ahli segala penyakit. Dokter yang merawat kita akan merujukkan kita pada dokter spesialis bila ada kondisi penyakit yang berada di luar kompetensinya. Misalnya, pasien stroke dg riwayat diabetes yang tidak terkontrol dengan baik, biasanya dirawat bersama oleh ahli syaraf dan ahli penyakit dalam.

Kedua, para pengobat alternatif menawarkan obat berupa jamu atau ramuan herbal yang "alami" dan tanpa efek samping. Tidak seperti obat dari resep dokter yang disebut-sebut penuh bahan kimia.

Ketiga, biaya berobat alternatif pasti lebih terjangkau daripada berobat ke dokter atau rumah sakit. 

Keempat, ada beberapa pengobat yang berani menjamin keberhasilan terapi dalam sekian sesi pengobatan. Bahkan ada yang menjanjikan "Sekali berobat langsung sembuh". Terakhir, biasanya mereka menutup sesi promosi dengan menyajikan testimoni pasien-pasien yang sudah sembuh total setelah berobat ke tempat tersebut.


Saya sama sekali tak bermaksud menganggap metode pengobatan alternatif atau tradisional itu ketinggalan zaman, atau bersikap anti terhadapnya. Sesungguhnya ilmu kedokteran pun dulunya dimulai dari nol. Ilmu kedokteran yang canggih dan complicated pada hari ini adalah hasil pembelajaran berabad-abad lamanya. Diskusi antar ahli, hipotesis, dan penelitian panjang yang memakan waktu lama. Semakin dalam manusia mempelajari ilmu ini, semakin tampaklah betapa rumitnya cara kerja tubuh manusia, betapa banyaknya jenis makhluk hidup bernama mikroorganisme yang berdiam di dunia ini berdampingan dengan manusia dan kadangkala mengganggu keseimbangan tubuh kita melalui infeksi.

Lambat laun pula, kita menemukan cara untuk membuat obat-obatan dari bahan-bahan alam. Resep-resep itu diwariskan turun-temurun dan dikembangkan oleh kita. Jika awalnya obat-obatan ditumbuk atau direbus, seiring kemajuan zaman kita menemukan cara-cara mengolah obat agar lebih mudah dikonsumsi. Misalnya, ramuan obat dikeringkan, dijadikan bubuk, tablet atau kapsul. Kita bahkan bisa membuat zat yg kerjanya lebih efektif dengan turunan-turunan senyawa alam tadi.

Dosis ditentukan secara hati-hati melalui serangkaian penelitian, diujicobakan dulu pada hewan percobaan, diamati khasiatnya dan efek sampingnya. Lalu diuji klinis pula pada sekian banyak pasien, dan jika semua tahap itu sudah dilalui dengan baik (obat terbukti berkhasiat, dan diketahui berapa dosis amannya agar tidak membahayakan, juga diketahui apa saja efek sampingnya) barulah obat itu boleh beredar di pasaran berupa obat bebas ataupun obat terbatas.

Menurut saya, obat -obat seperti ini jauh lebih aman ketimbang membeli jamu di toko obat, misalnya, yang seringkali komposisinya tidak tertera di kemasan. Atau ada tapi tertulis dalam aksara Cina yang tak semua orang paham apa artinya. Banyak juga lho jamu-jamu herbal yang ngga jelas ini ternyata dicampur dengan steroid atau parasetamol. Entah berapa takarannya..Itu sih ibarat minum segelas cairan yang kita ngga tau apa isinya. Mungkin obat. Tapi bisa juga racun. Ngeri kan?

Bagaimana dengan obat-obat racikan para pengobat alternatif tadi? Apa saja kandungannya dan bagaimana cara kerja obat itu dalam menyembuhkan penyakit kita? Sudah berapa banyak pasien yang mengkonsumsi obat tersebut, dan bagaimana follow up nya? berapa persen yang sembuh, tidak sembuh, atau justru kembali dengan keluhan baru yang bisa jadi merupakan efek samping obat?

Kayaknya ribet banget ya. Tapi buat saya, tubuh dan kesehatan saya sangat berharga. Saya tidak mau begitu saja memasrahkannya pada orang-orang yang belum saya percaya kompetensinya, yang mengobati orang dengan metode yang keberhasilannya belum terbukti secara ilmiah. Atau sembarangan memasukkan obat atau ramuan apa saja ke dalam tubuh saya sebelum saya tahu apa isi, manfaat dan efek sampingnya.

Tak jarang bila saya berobat, bila ada resep yang saya belum paham saya pasti minta penjelasan pada dokter, sejelas-jelasnya. Itu salah satu hak kita sebagai pasien. Beberapa kali saya memutuskan tak akan pernah kembali pada dokter tertentu karena pelit informasi dan menganggap pasien sebagai pihak inferior yang tak tahu apa-apa, harus patuh pada pihak superior yaitu dokter, harus terima saja apapun obat yang dia berikan, titik.

Saya pikir, bila kita hendak berobat alternatif, kita harus membiasakan diri juga seperti itu; berpikir logis dan kritis. Apalagi ada juga penipu-penipu berkedok pengobatan alternatif, berusaha memperkaya diri dengan cara memanfaatkan masyarakat kita yang masih mudah percaya pada iklan testimoni dan janji bombastis "dijamin sembuh".

Jadi, sebetulnya tidak perlu sih mengkonfrontasikan antara pengobatan modern dan pengobatan alternatif. Pengobatan mana pun yang kita pilih, pilihlah dengan rasional dan bertanggung jawab.

Senin, 17 Maret 2014

Topeng Facebook


Beberapa waktu lalu saya mengenal si Badrun, sebut saja namanya begitu, sebagai mahasiswa D3 sebuah universitas swasta yang magang di tempat saya bekerja. Anak ini ramah, sopan dan cukup rajin.
Pernah dalam suatu obrolan dia curhat sedikit, bahwa dulu sebenarnya dia sangat ingin jadi dokter, tapi sayang tidak lulus ujian masuk FK di universitas negeri. Karena biaya pendidikan dokter di universitas swasta sangat mahal dan dirasa akan terlalu memberatkan orangtua, mendaftarlah dia di tempat kuliahnya yang sekarang.
Setelah program magangnya berakhir, kami bertukar nomor telepon dan menjadi teman di jejaring sosial Facebook. Supaya bisa tetap saling bersilaturahmi.
Beberapa hari lalu, saya iseng mengamati akun Facebook-nya. Apa yang saya temukan membuat kening saya mulai berkerut. Dia mencantumkan bahwa dirinya adalah mahasiswa fakultas kedokteran. Dia mengunggah berbagai foto yang memberi 'kesan' bahwa dia memang anak FK. Misalnya, foto dengan berjas putih (yang bisa saja memang lazim dipakainya untuk praktikum sehari-hari, karena jurusan D3 yang diambilnya berkaitan dengan laboratorium), berpose di depan gedung fakultas kedokteran, berfoto selfie bersama sebuah textbook kedokteran dengan caption bertuliskan "dokter narsis nih", dan lain-lain.
Bahkan, status-statusnya seakan dibuat untuk meyakinkan siapapun bahwa dia memang calon dokter.
"Kuliah kedokteran capek juga ya..."
"Jalan-jalan dulu ah sebelum mulai masuk koas. Siapa mau ikut?"
"Susahnya koas. Tadi abis dimarahin pasien. Kesel!"
Yah, walau pun ada juga sih yang janggal dan berlebihan seperti ini.
"Dinas malam di poliklinik bedah."
(Halooo... Mana ada poli bedah buka malam hari di rumah sakit pendidikan?)

"Bersama para ahli medis." 
(Di bawahnya ada foto dia sedang berpose dengan teman-teman saya analis kesehatan di kantor. "Ahli medis"?? Errr, I don't think there's any medical student use that term!)

Jejaring sosial seringkali menjadi semacam 'godaan' bagi kita untuk memoles profil diri sekeren mungkin, entah itu benar atau sekedar topeng. Ada teman saya, sebut saja Rafika. Tiap makan di restoran mahal, pamer check in. Tiap jalan-jalan ke luar negeri, pamer objek wisata ikonik. Tiap anak juara lomba ini itu, pamer foto si anak lagi memegang piala. Tiap abis nge-gym atau jogging sekian kilometer, pamer di status Facebook.
Selain golongan yang hobi pamer, ada lagi golongan yang suka berbohong. Seperti Badrun tadi misalnya. Akun jejaring sosial menjadi ajang pelampiasan untuk menciptakan versi khayali diri kita di dunia maya, yang tak bisa kita wujudkan di dunia nyata. 
Oh, poor Badrun. Kenapa kamu harus berbuat seperti itu, Dek? Siapa yang mau kamu bohongi? Keluarga dan sahabat-sahabat kamu? Mereka tentu malah akan sedih kalau tahu perbuatanmu. Dirimu sendiri? Jelas tidak bisa kamu bohongi. Teman-teman dunia mayamu? Kenapa repot-repot membuat mereka kagum dan terkesan sama kamu, toh mereka jauh di dunia antah berantah dan mereka bukan orang-orang terpenting dalam hidupmu. Tidak lelahkah kamu bersandiwara?

Semoga kamu secepatnya sadar, bahwa untuk jadi orang hebat, kamu ngga harus berpura-pura jadi sesuatu yang bukan kamu. Tidak ada profesi 'bergengsi' atau profesi 'biasa-biasa saja'. Asalkan itu halal dan ditekuni dengan sepenuh hati dan rasa tanggung jawab, maka rezeki dari Tuhan dan penghargaan dari manusia akan kamu dapatkan.
Pake topeng terus-terusan itu melelahkan. Cukup jadi diri sendiri aja ah!

Senin, 03 Maret 2014

Apa Kabar Resolusi Tahun Lalu? (bagian II)

Hello again... It is March already! And I am still talking about my last year's resolutions. Haha. Now I'm going to share about another resolution, the one I've apparently been making every year since my first wedding anniversary: having children.

After trying to conceive for more than three years, my husband and I finally decided to do something big. How big? We had been through long discussions together before going into this thing: In Vitro Fertilization.

Honestly, going through an IVF took much energy. We spent many hours in the hospital for queueing for a session with obgyn doctor, queueing for blood tests, queueing for the surgical procedures, and so on. I took a few weeks leave just for bedrest.

And, it was not a cheap procedure. IVF costs a lot because of its expensive medicines, laboratory works and surgery. Not to mention if a couple decides to do IVF out of their hometown or abroad--it will cost them more for accomodation and transportation. It took time for us to prepare the budget.

Eventhough we always tried to be optimistic and positive thinking, we still had to accept that IVF success probability is only around 40%. That is why, being realistic is a must. Of course we hoped for the best, but we should never forget to prepare for the worst.

Well... in my case, our first IVF failed to make me pregnant.. :( We were sad and disappointed, very much. We did envy all those newly weds who could have cute babies in just few months. But eventually we realized that drowning ourselves in disappointment would not bring us anywhere better.

What we want might not be what God has planned for us. And no matter how bad it looks, we just have to believe that it's the best. Perhaps we just have to wait a little longer, try again a little harder, and pray a little more, until the time comes for us to have our own children. Amen.

By the way, if you and your spouse have any intention to try In Vitro Fertilization, or need some information about it, you can mail me at rurimailbox@gmail.com then let's see if I can help you. :)