Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Jumat, 28 Februari 2014

Three Types of Taxi Drivers You Don't Wanna Meet On the Street

Tiga tipe supir taksi yang ngeselin:

Pertama, kurang menjaga kenyamanan taksinya sendiri. Beberapa kali dapat taksi yang bau rokok dan banyak nyamuknya. Euh... Biasanya saya cuma ngedumel dalam hati sih. Paling-paling waktu turun ngasih ongkos ngepas sesuai argo saja, tanpa tip.

Kedua, tidak tahu jalan. Berkali-kali apes dapat supir taksi yang masih newbie di Jakarta. Padahal saya ini tipe orang yang "buta arah" dan tidak banyak terbantu oleh Google Map. Selama ini saya lebih mengandalkan cara saya sendiri: tanya arah sama orang-orang di jalan, "Permisi... Kalau mau ke gedung X, ke arah mana ya?" Nanti kalau di tengah perjalanan bingung, ya tanya orang lain lagi. Begitu seterusnya sampai saya berhasil menemukan tempat yang dicari.  Hehehe.

Kedua, tahu jalan dan memanfaatkan penumpang yang tidak tahu jalan. Pernah dulu mengejar waktu ke bandara Soekarno-Hatta. Saya yang biasanya naik bus Damri ke bandara, memutuskan naik taksi dari rumah. Supir membawa saya lewat jalur tol, yang rasanya kok jauh banget ya, tapi karena hari masih pagi gelap dan jalanan masih lancar, saya bisa cepat sampai tujuan. Ongkosnya sampai dua ratus ribuan belum termasuk ongkos tol. Lain hari, waktu naik taksi lagi ke bandara, ternyata cuma habis seratus ribuan tuh. Begitulah, ternyata saya dibawa berputar-putar di jalan tol supaya ongkos yang saya bayarkan lebih mahal.

Untuk mengantisipasi supir taksi ngeselin nomor 1 dan 2, saya lebih suka naik kendaraan umum ke tempat yang belum saya kenal betul rutenya. Atau, culik seseorang yang hapal jalan untuk mengantar saya (biasanya suami sih :p). Haha.

Ketiga, asal tembak tarif mahal tanpa menyalakan argometer. Karena itulah, sebelum naik ke dalam taksi, pastikan pembayaran memakai sistem argometer. Terutama untuk taksi yang namanya kurang familiar, jangan sungkan untuk bertanya, "Taksinya pakai argo, nggak, Pak?" Kalaupun tidak memakai argometer, lakukan tawar menawar dulu sampai tercapai tarif yang disepakati.

Bagaimana dengan oknum curang yang mengakali argometer sehingga angka tarif cepat sekali bertambah? Saya ngga tahu juga deh gimana membuktikan kecurangan seperti ini. Kalau sampai ketemu yang begini, saya berdoa aja deh semoga uang saya yang dicurangi akan diganti dengan rezeki yang lebih baik olehNya. :)

Baru-baru ini saya menemukan supir ngeselin nomor 3 di Bandung. Malam itu weekend. Jalanan Bandung ramai dan agak sulit mencari taksi yang biasa kami naiki. Jadi, saya dan ketiga teman seperjalanan oke aja waktu dapat taksi yang satu ini, nama taksinya P*t*a. Kami berangkat dari jalan Cihampelas menuju Dago Atas. Selama perjalanan, saya sedang asyik bertelepon, sementara teman-teman saya ngobrol seru.

Setelah lumayan jauh jarak yang kami tempuh, teman saya baru sadar bahwa argometer masih menunjukkan angka nol, dan protes pada supir, "Pak! Kok argonya dari tadi ngga jalan sih?"

Pak supir tampak (pura-pura) kaget dan berdalih, "Waduh, saya lupa nyalain argo, Bu."

Hellooo. Is that the best lie you can do?? Tentu kami tidak percaya sama sekali. Lelaki setengah baya itu jelas bukan supir taksi kemarin sore. Dia hafal jalan dan lancar bahasa setempat. Apalagi, tak lama kemudian dia langsung melontarkan tarif asal-asalan, "Lima puluh ribu aja lah, Bu."

"Ah masa sih lupa?"

"Kalo memang ngga mau pake argo, bilang dong dari awal Pak."

Setelah menggerutu panjang pendek, kami memutuskan untuk putar balik dan minta diantar kembali ke Cihampelas. Sejak memutar balik, barulah si supir taksi menyalakan argometer. Saat kami turun di Ciwalk, argo menunjukkan angka 25000. Kami menyodorkan uang lima puluh ribu rupiah. Tentunya kurang, bila dihitung perjalanan bolak-balik tadi. Tapi karena dicurangi saat berangkat, kami hitung asal saja 25000 x 2 (perjalanan PP).

"Gimana, Pak? Cukup segini?"

Si supir menghela napas, "Ya sudahlah, Bu, ngga apa-apa."

"Ya jelas ngga apa-apa lah Pak, kan tadi argonya ngga dinyalain sama Bapak. Oke. Makasih yaaa."

Impas dah sama-sama dikerjain. Hehe.

Kamis, 20 Februari 2014

(Jangan Lagi) Sedekahi Pengemis


Kemarin pagi, saya naik metromini ke kantor. Saat melewati daerah Rawasari, lalu lintas lumayan padat sehingga metromini melaju perlahan. Naiklah seorang pemuda yang usianya mungkin masih belasan tahun. Tampak sehat. Saya pikir dia adalah penumpang, sampai dia mulai "berorasi" dengan suara lantang, mengalahkan deru mesin metromini.

Kurang lebih isinya begini.

"Bapak-bapak, Ibu-ibu, maaf kalau kalian bosan melihat anak jalanan seperti saya tiap hari. Tapi keadaan memaksa. Saya mohon keikhlasannya untuk ngasih sedekah. Lebih baik saya meminta-minta daripada menodong atau mencopet."

Selesai bicara, pemuda itu menadahkan tangannya kepada setiap penumpang. Tak ada satu pun yang memberinya uang. Dia berdecak kesal, lalu mengulang lagi pidatonya tadi, hanya saja kali ini bernada memaksa.

"Tolong pengertiannya dong Pak, Bu! Jangan sampe saya harus ngulang lagi, ngulang lagi omongan saya. Apa susahnya bersedekah seribu-dua ribu."

Dan dia berkeliling lagi sambil merengut. Matanya menatap galak, mungkin mau meniru gaya preman ya. Kali ini ada satu-dua yang memberi uang receh. Itu pun diterima sambil menggerutu.
Setelah dia pergi, beberapa penumpang di sekitar saya mulai ramai nyeletuk.

"Masih muda, seger buger gitu kok ngemis."

"Iya, pake pasang tarif minimal lagi! Seribu-dua ribu. Lucu amat."

"Biar seribu-dua ribu juga kita-kita pake usaha ngumpulinnya. Bukan metik di pohon!"
Sudah cukup lama saya berhenti memberi uang pada pengemis yang bertebaran di Jakarta. Bukan karena tidak punya hati dan miskin rasa iba. Justru para pengemis itulah yang mengeksploitasi rasa iba kita untuk mendapatkan uang. Meski ada juga pengemis yang lebih suka memaksa seperti pemuda di metromini tadi. Kalau yang model begini, biasanya marah bila diberi recehan lima ratus rupiah. Bukan hanya menggerutu, bisa-bisa uang itu dibuangnya di depan mata kita.

Bukan rahasia lagi, bahwa pengemis jaman sekarang tidak semuanya mengemis karena miskin dan tidak ada jalan lain lagi untuk mencari nafkah. Melainkan karena mental peminta-minta yang ingin hidup mudah tanpa kerja susah. Pengemis menjadi semacam profesi yang penghasilannya cukup menggiurkan di kota-kota besar. Kalau mau tahu berapa nominalnya, coba saja cari artikel-artikel di media massa soal itu. Juga bukan rahasia lagi bahwa memang ada sindikat penipuan berkedok pengemis dan peminta sumbangan. Cukup terkoordinir. Masing-masing anggota punya "wilayah kerja" dan ada sistem setoran.

Tempo hari ibu RT di tempat saya bercerita soal sekelompok ibu-ibu yang berkeliling dari rumah ke rumah di lingkungan saya. Mereka mengaku dari masjid A di daerah Pulogebang, meminta sumbangan untuk program santunan anak yatim. Mereka membawa map berisi daftar nama donatur dan jumlah sumbangan yang diberikan.

Beberapa kali ibu RT tergerak memberikan sumbangan, bahkan menjamu mereka dengan minuman dan cemilan. Tapi, suatu siang beliau secara tak sengaja memergoki para wanita peminta sumbangan itu sedang duduk berteduh di bawah pohon, lumayan jauh dari RT kami. Ada apa? Rupanya uang yang katanya untuk santunan yatim itu dibagi-bagi untuk mereka sendiri.

Inilah mengapa saya lebih memilih bersedekah langsung pada orang yang membutuhkan atau melalui lembaga zakat/ infak/ sedekah resmi.
Pertama, karena saya yakin sedekah itu akan dikelola dengan bertanggung jawab dan lebih nyata manfaatnya bagi masyarakat yang membutuhkan. Entah itu nanti dipakai untuk membiayai sekolah anak-anak yatim, membantu para korban bencana alam, memberi pinjaman modal pada pengusaha-pengusaha kecil, dan lain-lain.

Kedua, (mudah-mudahan) lebih kecil peluang untuk riya' atau pamer kebaikan di hadapan orang lain. Misalnya, tinggal masuk aja ke bilik ATM, transfer uang ke rekening donasi, lalu buang struk transaksinya. Simpel dan ngga ada yang menyaksikan, kecuali Allah.

Mungkin ada yang ngga setuju sama pendapat negatif soal pengemis dan peminta sumbangan gadungan.
"Sedekah aja kok ribet dan pilih-pilih? Yang penting kan ikhlas. Apakah peminta-minta itu ternyata penipu atau bukan, ya itu urusan dia sama Tuhan."

Silakan kalau ingin "memanjakan" para peminta-minta. Semoga Tuhan akan membalas niat ikhlas pemberinya dengan kebaikan yang berlipat. Tapi jangan heran bila beberapa tahun lagi mereka tetap meminta-minta bahkan semakin bertambah saja populasinya, karena kitalah yang selama ini "mendidik" mereka untuk terus menadahkan tangan:

Kalau minta aja dapet banyak, ngapain kerja?

Selasa, 18 Februari 2014

(Book Review) Bittersweet Love


Judul     : Bittersweet Love
Penulis  : Netty Virgiantini & Aditia Yudis
Penerbit: GagasMedia
Tebal     : 244 halaman

Karena judulnya yang melankolis, awalnya saya sempat menyangka novel ini bakal bercerita tentang cinta menye-menye sepasang kekasih, atau tema klise semacamnya. Ya, saya melankolis, tapi bukan penggemar drama "lebay", hehe.

Namun, berhubung belum paham apa yang dimaksud karya duet, saya jadi penasaran sama konsep yang ditawarkan novel ini. Novel duet, maksudnya novel yang ditulis bersama oleh dua orang. Ini pertama kalinya saya membaca tulisan Netty Viargiantini. Sedangkan Aditia Yudis, saya pernah membaca beberapa fiksi singkat yang ia tulis di blognya. And I like her stories. Jadi, saya putuskan untuk membaca Bittersweet Love.

Novel ini terdiri dari dua novela. Novela pertama, Take It, bercerita dari sudut pandang Nawang, seorang gadis yang tak lagi bahagia sejak perceraian kedua orangtuanya.

Surya, ayah Nawang, yang jatuh cinta dengan Hesti, akhirnya bercerai dari istrinya dan menikahi Hesti. Pernikahan ini memberi Nawang saudara tiri, yaitu anak laki-laki Hesti yang bernama Hefin.

Nawang memilih tinggal bersama Ajeng, ibunya, yang kini telah menikah lagi dengan Adjie, duda yang istrinya telah meninggal karena kanker. Pernikahan ini mempertemukan Nawang dengan satu lagi saudara tiri, yaitu Joanna, anak perempuan Adjie.

Perceraian mungkin dipandang sebagai solusi terakhir ketika pernikahan tak bisa dipertahankan lagi. Tapi seringkali perceraian juga membawa luka dan rasa kecewa. Nawang tak pernah bisa menerima perceraian kedua orangtuanya, yang katanya dilakukan demi kebaikan bersama. Nawang menggugat:

"Kebaikan? Kebaikan yang mana? Untuk siapa?"

'Keluarga' menjadi kata yang terasa asing dan jauh. Nawang telah kehilangan keluarga yang dulu dicintainya, dan ia membenci dua keluarga barunya. Hefin adalah musuh bebuyutannya dalam tawuran antar pelajar kedua sekolah mereka. Sedangkan Joanna hanyalah adik tiri manja merepotkan yang harus diboncengnya setiap hari ke sekolah, dan ternyata malah ditaksir oleh Artan--sahabat sekaligus orang yang diam-diam disukai Nawang.

Merasa tak memperoleh kedamaian tinggal serumah bersama orang-orang yang terasa asing, Nawang memutuskan pergi sendirian ke rumah Akung, kakeknya di Tawangmangu. Perlahan kekerasan hati Nawang melumer saat Akung meminta Nawang menempatkan diri di posisi 'keluarga' yang dibencinya. Selain itu, Nawang mulai menyadari bahwa selama ini tatap mata Hefin yang aneh padanya, ternyata bukan mengandung kebencian...

Novela kedua, Pulang, dikisahkan dari sudut pandang Joanna. Jo, anak tunggal yang hidup bahagia dengan kedua orangtuanya, harus menerima kenyataan bahwa bundanya telah wafat dan ayahnya kini menikah dengan wanita lain. Padahal, tidak ada yang pantas menggantikan Bunda, menurutnya. Jo semakin tidak betah berada di rumah dengan adanya Nawang yang membencinya.
Jo sering membolos sekolah dan bertengkar hebat dengan ibu dan kakak tirinya. Jo kabur seorang diri ke Bandung, kota tempat semua kenangan baik tentang bundanya berada. Di tengah pelariannya, tiba-tiba Nawang the queen of evil meneleponnya. Apa iya Nawang sejahat yang ditunjukkannya selama ini?

Saya suka buku ini karena, meski diramu oleh dua penulis yang berbeda dari sudut pandang dua tokoh yang berbeda pula (Nawang dan Joanna), jalinan cerita tetap terasa utuh sebagai satu kesatuan.  Kompak. Saya juga menyukai tema keluarga yang melandasi cerita ini. Saya jadi membayangkan, seperti apa rasanya ya punya keluarga tiri? 

Bahagia karena menemukan sosok pengganti orang tercinta yang telah pergi? Atau malah bikin hidup tambah runyam gara-gara perselisihan antara orang-orang yang tadinya asing tapi kemudian dipaksa tinggal bersama sebagai 'keluarga'? Saya yakin, itu ngga mudah. Pasti butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang yang kepribadiannya mungkin jauh berbeda dengan kita. Dan yang jelas, butuh komitmen dari masing-masing penghuni rumah supaya keluarga yang baru terbentuk ini bisa langgeng. Love needs effort, right?

Dari cerita Nawang & Jo, saya diingatkan lagi soal cinta sejati. Selama ini, kayaknya saya lebih banyak menuntut untuk dicintai daripada mencintai. Ingin supaya orang yang saya cintai berubah jadi lebih baik (menurut saya), padahal saya malas memperbaiki diri sendiri. Lebih sering berkata, "Ngertiin saya dong!" ketimbang "Apa yang perlu saya lakukan supaya bisa mengerti kamu?"

Padahal cinta itu selalu punya dua sisi yang harus dipeluk. Suka dan duka. Manis dan pahit. Memberi dan menerima.

Love is bitter. Love is sweet.

(Book Review) Salahkan Bintang-bintang


Judul      : Salahkan Bintang-bintang
Penulis   : John Green
Penerbit : Qanita
Tebal     : 424 halaman

Hazel Grace Lancaster, cewek 16 tahun pengidap kanker, dinyatakan sembuh setelah proses pengobatan yang panjang dan melelahkan. Sayang, paru-parunya terlanjur rusak karena penyebaran kanker. Dia tidak bisa lagi melakukan aktifitas sehari-hari layaknya seorang remaja; sekolah, hang out bareng temen, atau berolahraga. Boro-boro bisa petakilan, naik turun tangga aja ngos-ngosan. Hazel butuh pasokan oksigen ekstra dari selang dan tangki oksigen, yang dibawanya setiap saat. Selain itu, dia harus kontrol rutin ke dokter untuk mengecek kalau-kalau kanker itu tumbuh lagi. 

Hazel tidak merasa menang walau berhasil bertahan melawan kanker. Kehidupan lamanya tidak akan kembali. Dengan tubuh kurus, wajah sembab akibat efek samping obat kemoterapi, paru-paru rongsok, dan tangki oksigen yang diseretnya kemana-mana, Hazel menyebut dirinya mirip mayat hidup. Syukurlah Hazel punya orangtua yang selalu menyemangati. Ibunya, yang gerah melihat Hazel depresi dan sering mengurung diri di rumah, memaksanya ikut pertemuan kelompok pendukung penderita kanker. 

Tujuannya, supaya Hazel bisa bertemu teman-teman senasib di sana dan ngga frustrasi lagi. Hazel akhirnya bersedia, walau ogah-ogahan. Dengan skeptis, Hazel menceritakan bagaimana anggota-anggota silih berganti. Selalu ada yang absen karena sakit parah atau mati. Topik pembicaraannya ngebosenin banget: kanker. Ya iyalah. Belum lagi, ada ritual mendoakan para anggota yang sudah meninggal duluan. Daftar nama yang dibacakan bertambah panjang setiap kalinya. Hazel bahkan bertanya-tanya, kapan giliran namanya masuk dalam daftar itu. 

Suatu hari, anggota baru yang bernama Augustus Waters, sepertinya naksir Hazel. Hazel grogi banget karena udah lama ngga pernah ditaksir cowok, dan ngga pede sama penampilan fisiknya. Apalagi, meski sebelah kaki Augustus diamputasi karena osteosarkoma, cowok ini tetap punya aura keren dan beda. Misalnya, dia punya kebiasaan menyelipkan sebatang rokok di bibirnya. Alasannya? 

"Rokok tidak akan membunuhmu, kecuali jika dinyalakan. Dan aku tidak pernah menyalakannya. Lihat, ini metafora: Kau meletakkan pembunuh itu persis di antara gigimu, tapi tidak memberinya kekuatan untuk melakukan pembunuhan." 

Hazel dan Augustus pun segera akrab, bahkan sampe bertukar novel favorit segala. Hazel meminjami Augustus buku kesayangannya, Kemalangan Luar Biasa. Buku itu berkisah tentang kehidupan Anna, seorang pengidap kanker. Hazel ngefans banget sama Peter Van Houten, penulisnya.

"Peter Van Houten adalah satu-satunya orang yang kukenal yang seakan (a) memahami bagaimana rasanya sekarat, dan (b) belum mati."

Ternyata Augustus jadi suka juga sama buku tersebut, dan asyik membahasnya bersama Hazel. Mereka penasaran karena akhir ceritanya menggantung, dan kesal karena setelah bertahun-tahun si penulis sama sekali tidak meluncurkan buku lanjutannya. Nah, kalo yang ini saya ngerti deh. Ending cerita yang ngga tuntas itu... menyebalkan! Hahaha. Hazel dan Augustus pun sibuk menebak-nebak akhir cerita Kemalangan Luar Biasa, dan bertekad untuk menuntut jawaban dari penulisnya sendiri andai bisa bertemu langsung dengan Peter Van Houten.
  
Kejutan! Setelah berusaha lumayan gigih, Augustus berhasil menghubungi sang penulis dan saling berkorespondensi lewat e-mail. Peter Van Houten mengundangnya dan Hazel untuk bertemu langsung di Amsterdam. Hazel sangat ingin pergi, meski nafasnya semakin sesak dan tubuhnya mulai sering didera nyeri. Hazel ketakutan kankernya kambuh. Tapi tekadnya sudah bulat untuk bertualang bersama Augustus dan bertemu langsung dengan penulis Kemalangan Luar Biasa, meski keadaan Hazel bisa bertambah parah kapan saja. 

Sayang, sesampainya di Amsterdam semua tidak berjalan sesuai harapan! Peter Van Houten ternyata luar biasa menyebalkan, dan Augustus punya rahasia besar yang akan diungkapnya pada Hazel. 

Saya sudah membaca buku ini beberapa kali, dan sama sekali belum bosan. Sungguh unik, persepsi hidup dan mati dari sudut pandang Hazel dan Augustus. Dua remaja sekarat yang terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Saya suka dialog-dialog mereka yang menggelitik dan kadang filosofis. 

Alih-alih banjir airmata, kedua tokoh ini justru mengajak kita untuk sesekali menertawakan kematian, dan menyambutnya bagai kunjungan seorang teman. Lihat saja gaya Hazel menceritakan perjalanan penyakitnya pada Augustus.

"Aku didiagnosis kanker tiroid stadium IV ketika berusia 13 tahun." (Tidak kukatakan kalau diagnosis itu muncul tiga bulan setelah menstruasi pertamaku. Seakan: Selamat! Kau seorang perempuan. Sekarang matilah.)

Cuek abis kan?

Namun tidak bisa dipungkiri, siapa sih yang mau mati muda?? Begitu pula Augustus, yang takut dirinya akan segera dilupakan oleh dunia begitu dia meninggal nanti. Dia jadi terobsesi untuk meninggalkan "tanda" berupa kenangan yang berkesan bagi orang lain. 

"Kita menyerupai sekumpulan anjing yang mengencingi hidran air, menandai segala sesuatunya sebagai MILIKKU dalam upaya konyol untuk bertahan hidup dari kematian. Aku tahu itu konyol dan tak berguna, tapi aku hewan, sama seperti siapa pun lainnya." 

Kisah bertema cancer survival ini punya banyak dialog dan narasi mengharukan yang bisa bikin mewek. Tapi di sisi lain, ada pelajaran yang bisa diambil. Bahwa hidup itu berharga dan layak diperjuangkan. Bahwa kematian itu menakutkan, tapi tak terelakkan. Hal terbaik yang bisa kita lakukan di dunia adalah, live our life to the fullest, and embrace death like an old friend! 

Senin, 17 Februari 2014

Cara Pembatalan Tiket Kereta Api

Rencananya, minggu depan Mama saya akan pulang kampung ke Jawa Timur untuk mengunjungi famili yang baru menikah. Tiket PP kereta api Brantas sudah dibeli. Tapi rencana mudik terpaksa ditunda dulu karena bencana erupsi gunung Kelud. Ujung-ujungnya, tiket mesti dibatalkan deh.

Saya berangkat ke stasiun kota yang terdekat dari tempat tinggal, yaitu Jatinegara, dengan membawa fotokopi KTP Mama dan tentu saja tiket-tiket yang mau dibatalkan dong. Sampe stasiun, antrean di loket 4 lumayan bikin manyun... Setelah antre selama satu jam, akhirnya tiba juga giliran saya.

Saya menyerahkan tiket-tiket yang akan dibatalkan, juga fotokopi KTP sesuai nama yang tertera di tiket. Petugas loket lalu memberi saya formulir pembatalan tiket yang mesti saya isi, antara lain nama penumpang, nomor booking dan nomor seri tiket, pilih uang tiket mau ditransfer ataukah dibayar tunai, dan pilih uangnya mau diambil di stasiun mana. Bentuk formulirnya seperti gambar di bawah ini ya.


Uang tiket  yang akan dikembalikan ke kita adalah sebesar harga tiket dikurangi potongan 25%. Tapi karena bencana alam gunung Kelud yang saya sebut tadi, uang tiket berangkat ke Jawa tertanggal Februari 2014 dikembalikan penuh 100%, saya terima saat itu juga. Sedangkan untuk tiket balik ke Jakarta tertanggal Maret 2014, uang pembatalan baru bisa diambil 30-45 hari setelah tanggal pembatalan tiket dan dikenai potongan 25%.

Eit, jangan ngacir dulu dari loket sebelum petugas memberikan print out tanda bukti pembatalan ya. Di situ ada data nama penumpang, tanggal tiket, tanggal pembatalan, kapan uang tiket bisa diambil kembali, dan berapa jumlah nominalnya.


Di hari pengambilan uang, sebelum berangkat ke stasiun, jangan lupa membawa tanda bukti pembatalan ini beserta kartu identitas penumpang.

Minggu, 16 Februari 2014

Ber-KRL Ria ke Gedung PT. Antam

Hari ini adalah hari resepsi pernikahan Sari, teman saya semasa SMP dulu. Lokasinya di gedung PT. Aneka Tambang (Antam), Jl. TB Simatupang Jakarta Selatan. Sejak merit, saya terlalu asyik mengandalkan suami untuk menemani saya kemana-mana. Karena suami biasanya paham rute, saya tinggal nebeng aja tahu-tahu sampe di tempat deh. Akibatnya jarang mengingat-ingat rute yang sudah dilalui. Hahaha, kebiasaan buruk, jangan ditiru ya.

Berhubung hari ini suami masih tugas di luar kota, terpaksalah saya pergi sendiri. Sebetulnya naik taksi lebih enak bisa lewat tol Bintara, tol lingkar luar Jakarta, keluar tol sudah dekat dengan gedung Antam. Tapi karena saya belum tahu rute ke sana, males deh... Saya sering bernasib apes, naik taksi dan dapat supir yang tak tahu jalan. Kalau saya tahu medan sih, no problemo. Lha ini supir dan penumpang sama-sama bingung, gimana coba? Hehehe.

Akhirnya saya putuskan naik Commuter Line. Cukup mudah dan cepat kok. Murahnya jangan ditanya lagi; dari stasiun Cakung sampai Tanjung Barat cukup Rp 3000 saja.

Saya naik Commuter Line dari stasiun Cakung, transit di stasiun Manggarai. Selanjutnya, dari Manggarai nyambung Commuter Line tujuan Depok/Bogor, dan turun di stasiun Tanjung Barat. Urutan stasiun yang dilewati adalah Manggarai-Tebet-Cawang-Duren Kalibata-Pasar Minggu Baru-Pasar Minggu-Tanjung Barat. Dari situ, naik angkot T19 arah Kampung Rambutan, jarak dekat; 5 menit perjalanan saja sudah sampai di gedung Antam.

Kalau naik mobil pribadi atau taksi, dari stasiun Cakung masuk saja ke tol Bintara ke arah Lebak Bulus. Terus lewat tol Lingkar luar Jakarta, lalu keluar dari tol ke Jl. TB Simatupang. Sebelum perempatan Lenteng Agung putar arah ke gedung Antam. Lebih jelasnya, pelototin google map dulu aja ya.

Sabtu, 15 Februari 2014

Apa Kabar Resolusi Tahun Lalu? (bagian I)

I know it has been nearly two months since new year. Year 2013 has long gone, along with some resolutions I made so enthusiastically. I even wrote them in this blog, titled Biarkan Tuhan Memeluk Mimpi-mimpimu.

One of those resolutions was developing a tuberculosis laboratory in my work place. I was given this responsibility in 2012. I started from a point where WHO and Ministry of Health did not even allow us to do any lab work due to poor safety work practice, quality control and management.

I learned about doing cultures and susceptibility testing. I jumped into the lab, guiding my co-workers to work properly step by step. I got used to dealing with human sputum, pipettes, centrifuge and infection risk; and I'm still doing it until today. (Yeah it is as gross as you guys can possibly imagine, and I bet there aren't many MD willing to do "dirty work" I've been doing)

But it is quite rewarding when what you work hard for finally comes out with something good. The last time WHO and KNCV (Netherland's tuberculosis foundation) visited and asessed us, they were surprised to see our significant progress. And, ta-daaa, they finally approved us to do lab work and receive clinical samples. KNCV starts supporting our lab by funding our equipment maintenace. Ministry of Health also took us to join in the latest national tuberculosis prevalence survey.

Along with great power, comes greater responsibility. Eh, was it what Uncle Ben told Peter Parker when Peter got a spider suherhero power? :D Nevermind. I suddenly realized that this first success woudn't be the end of the journey. My responsibility soon will be bigger. While, in fact, I want to 'expand' myself to something newer, higher and further. I want my TB lab to be less dependent on me. I still owe my co-workers on how they can run the lab without too many intervention and supervision by me.

Well, I guess that has to be my 2014 resolution. Teaching my co-workers to work independently. :)

Minggu, 09 Februari 2014

Antares Bima

Sudah baca cerita-cerita sebelumnya? Ini dia:

Kenalan, Yuk!
Pukul Dua Dini Hari
Orang Ketiga Pertama
Cuti Sakit Hati
Sambungan Hati Jarak Jauh
Balas Kangenku, Dong!
Cintaku Mentok di Kamu 
Untuk Kamu, Apa Sih yang Nggak Boleh?
Catatan Stella: Menanti Lamaran
Catatan Stella: Bangunkan Aku Pukul Tujuh
Jangan Kemana-mana, di Hatiku Saja

Situasi  memanas di negeri ini.

Berawal dari berita menggemparkan, tentang ditemukannya jenazah enam jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya. Aku dan Antares melihat foto-foto jenazah menyedihkan, yang diekspos di surat kabar Berita Yudha. TVRI dan RRI tak henti-hentinya menyiarkan berita bahwa PKI adalah pihak yang bertanggung jawab atas peristiwa biadab pada 30 September itu..

Gelombang  kebencian terhadap apapun yang berbau PKI merebak di mana-mana. Kantor-kantor  komisariatnya dirusak atau dibakar massa. Orang-orang yang dianggap aktivis PKI diseret keluar dari rumah mereka, dibunuh di tempat atau dibawa paksa dan tak terdengar lagi kabar beritanya. Suasana di luar sana mencekam.

Sudah tiga hari ini Antares di rumah saja, tidak berpraktik di rumah sakit ataupun klinik seperti biasanya. Dia melongok lukisanku yang tertutup sehelai kain.

“Apa yang kau lukis kali ini?” Tangannya terulur, menyibak kain itu.

“Jangan dibuka!” sergahku. Dia tahu, aku tidak pernah mau memperlihatkan karyaku yang belum selesai pada siapapun. “Masih rahasia.”

Lengan Antares, yang baru berhasil membuka sebagian kain penutup, mematung. Dia menatapku, kecewa sekaligus penasaran. Aku mengusirnya kembali ke sofa, lalu meneruskan melukis.

Dering telepon terdengar. Siapa pula, larut malam begini?

“Aku saja,” kata Antares, beranjak untuk mengangkatnya. Tak lama, ia kembali padaku dengan wajah keruh. Apa ini karena telepon barusan?

“Siapa, Res?”

“Widya. Dia panik... Anwar baru saja diculik oleh orang-orang tak dikenal. Mereka menuduhnya terlibat peristiwa 30 September, hanya karena dia anggota Lekra.”

Aku menjatuhkan kuasku. Ya Tuhan... Widya dan suaminya, Anwar, adalah teman dekat kami.

“Setahuku Anwar memang ikut organisasi underbouw PKI itu... tapi terlibat pembunuhan? Mustahil,” bisikku, “tidak adil, menuduhnya begitu tanpa bukti! Lagipula, siapa orang-orang ini, menculik seenaknya? Mengangkat diri mereka sendiri sebagai hakim jalanan.”

“Kebencian dan prasangka bisa membutakan, Ambar.”

Kami tenggelam sejenak dalam pikiran masing-masing.

“Bilang pada Widya untuk kemari. Dia lebih aman bersama kita, daripada sendirian.”

Antares menggeleng. “Lebih baik kujemput dia ke rumahnya.”

“Jangan gila, Res!” Aku mencengkeram lengannya, menahannya tetap di sisiku, “Di luar sana sedang kisruh. Bagaimana kalau... Kalau terjadi apa-apa padamu?”

Ada sebersit ketakutan dalam suaraku. Anehnya, Antares malah tersenyum senang.

“Kau mengkhawatirkanku?”

Aku mendengus, merasakan wajahku memanas.

“Mungkin.”

“Oh... Ya sudah, berarti tidak apa-apa kalau aku pergi kan.”

Aku baru menyadari kerutan manis di sudut matanya, yang muncul saat dia tertawa seperti sekarang. Tapi itu tidak melenyapkan kecemasanku sama sekali. Aku duduk terdiam, melihatnya mondar-mandir mengambil mantel tipis, kunci mobil, dan menyuruh Damar menyiapkan Ford Convertible-nya.

“Paling tidak tunggulah sampai terang tanah, Res. Jangan selarut ini.”

Dia berlutut di depanku. Diangkatnya daguku lembut, memaksaku untuk balas menatapnya.

“Aku akan kembali, doakan saja. Ya?”

Malam itu adalah malam terpanjang yang pernah kuingat.

Aku masih duduk tegak di kursi yang sama, berharap akan mendengar deru mesin Ford yang kukenal, menandakan kepulangan Antares. Aku berharap dia akan muncul di ambang pintu beranda sambil tersenyum, menenangkan gelisahku dengan keteduhan matanya.

Tapi, yang kulihat datang padaku adalah Antares yang tersaruk bersimbah darah. Wajahnya pucat pasi. Senyumnya ternoda oleh seringai kesakitan. Tepat saat tubuhnya ambruk di hadapanku, aku terbangun dari mimpi buruk itu.

"Mama..." Abimanyu, masih terbalut piyama dan rambut yang berantakan, menyentuh pipiku yang basah oleh airmata. "Mimpi buruk ya?"

Butuh waktu beberapa saat sebelum napasku yang memburu kembali tenang. Abimanyu menghiburku dengan sebuah pelukan.

"Aku pernah nangis. Gara-gara mimpi buruk. Tapi kata Papa itu cuma mimpi. Mimpi tidak bisa menyakiti siapa-siapa. Jadi aku harus berani," tuturnya polos.

Aku ingin benar mempercayainya. Itu hanya mimpi buruk. Tak lebih.

Aku mengantar putraku kembali ke kamarnya, lalu memberinya ciuman di dahi. “Mama tidak takut lagi,” bisikku. Abimanyu tersenyum, kedua matanya sudah kembali terpejam.

Bohong.

Aku bahkan terlalu takut untuk tidur. Aku takut akan bermimpi buruk lagi tentang Antares.

Siaran terakhir RRI sudah selesai sejak tadi, tapi aku membiarkan radio itu tetap menyala. Aku berharap, setidaknya suara desis monoton benda itu bisa meredam bisik-bisik kecemasan di benakku. Aku duduk, kali ini di depan kanvasku yang tertutup kain. Kusingkap kain itu hingga jatuh ke lantai.

Di atas kanvas itu, terlukis dengan sapuan cat minyak, sebuah padang yang tertutup rerumputan dan bunga-bunga liar. Di sana, berdiri seorang lelaki, memandangi matahari yang setengah tenggelam di cakrawala. Langit yang menaunginya jingga sempurna. Lelaki itu sudah lama menunggu di sana, sejak langit masih biru dan dihiasi sekumpulan awan.

Lukisan ini belum selesai. Masih ada yang kurang. Maka, aku memutuskan untuk membunuh ketakutanku dengan melukis.

Aku larut dalam ketenangan cukup lama, sampai kudengar suara mesin mobil yang kukenal memasuki pekarangan. Antares!

Aku menghambur keluar. Ford merah itu penyok di beberapa bagian, dan kaca-kaca jendelanya pecah. Damar keluar dari pintu pengemudi, menghampiriku dengan badan luka-luka dan wajah pucat. Mataku bergerak nyalang mencari sosok Antares.

“Bu Ambar...”

“Damar, mana suami saya?” tanyaku. “Dia harusnya pulang ke sini. Mana Widya?”

“Bu Widya... sudah tewas, Bu.”

Aku merasa bibirku bergerak, tapi tak ada suara yang keluar.

“Saat kembali ke sini, kami dicegat di Kramat Raya... Mereka.. menyeret kami keluar... lalu memukuli...”

“Suami saya," selaku tak sabar, "dia bagaimana??”

“Bapak di rumah sakit Cipto, Bu. Kondisinya kritis.”

*


Posted via Blogaway


Posted via Blogaway