Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Pages

Kamis, 24 Januari 2013

Jangan Kemana-mana, di Hatiku Saja

Sudah baca cerita sebelumnya? Ini dia: 
Kenalan, Yuk!
Pukul Dua Dini Hari
Orang Ketiga Pertama
Cuti Sakit Hati
Sambungan Hati Jarak Jauh
Balas Kangenku, Dong!
Cintaku Mentok di Kamu
Untuk Kamu, Apa Sih yang Nggak Boleh?
Catatan Stella: Menanti Lamaran
Catatan Stella: Bangunkan Aku Pukul Tujuh


Aku menyeret langkahku menuju pesawat telepon, dengan robekan surat cinta itu di tanganku. Jika bukan Nenek Stella yang menulisnya untuk Kakek, lantas siapa? Telepon malam itu, siapa yang memulainya? Kakek, ataukah sosok misterius di ujung lainnya?

Benakku dipenuhi dugaan, dan aku akan mencari jawabannya.

Aku mengangkat gagang telepon, menekan tombol redial

“Terima kasih sudah menghubungi Rumah Sakit Kencana Med...”

Klik!

Ah, ya. Belum ada yang memakai telepon ini sejak seminggu lalu, saat aku mencoba menghubungi ambulans. 

Aku harus mencoba cara lain.
  
Kujejalkan surat itu di saku jaketku, lalu mengemudikan New CRV abu-abu metalik Ayah ke suatu tempat. 

“Bisa saya minta print-out panggilan keluar dari nomor telepon rumah kami? Tagihan bulan ini membengkak, entah kenapa.”

Lelaki di depanku tersenyum penuh pengertian, lalu mencarikan data di komputernya untukku.

“Ini hasil print-out pemakaian telepon November 2012, Mbak.”

"Terima kasih banyak."

Aku menyimpan kertas itu, lalu buru-buru kembali ke rumah sakit. Aku harus menemani Kakek, menggantikan Ibu yang akan pulang beristirahat di rumah. Tadi Ibu meneleponku, mengabari bahwa Kakek sudah boleh dipindahkan dari ICU ke ruang perawatan biasa. Syukurlah... Masa kritisnya sudah berlalu.

“Apa kabar, Kek?” Aku menggenggam tangan keriputnya, yang tidak dipasangi infus. “Nyenyak tidurnya semalam?”

Kakek tersenyum, memperlihatkan kerut-merut di wajahnya yang kusukai. Dia mengangguk di atas bantalnya. Aku membalas senyumnya.

“Pagi ini kamu cantik sekali. Kamu selalu cantik, Ambar...”

Senyumku menggantung canggung di sudut bibirku. Aku terbiasa tidak dikenali oleh kakekku sendiri, juga terbiasa mendengarnya menyebut nama-nama orang yang tak pernah kudengar sebelumnya. Bisa jadi mereka kawannya di masa lalu. Atau lawan.

Atau mungkin nama-nama itu tak pernah nyata, dan hanya ada dalam kabut memorinya?

“Ini Tiara, Kek... Cucu Kakek.”

“Ooh. Bukan Ambar ya?”

Aku menatap raut kecewanya, sedikit penasaran.

“Siapa Ambar, Kek?”

Senyum Kakek berubah lain saat aku menyebut nama itu. Seperti senyum seseorang yang bahagia saat nama kekasihnya disebut.

A for Ambar.
B for Bahtiar.
A and B, they’re supposed to be together,” celoteh Kakek, seperti mengucapkan sajak anak-anak. Mungkin sepotong lirik lagu di masa kecilnya dulu? Aku menyimaknya ingin tahu.

“But no longer, 
not anymore.
Everything they had was finally over.”

Senyumnya mendadak lenyap, digantikan sedu sedan yang memilukan. Entah kenapa.

“Jangan, jangan kemana-mana, Ambar,” gumamnya sedih, “tinggallah untukku, di sini...”

Aku berusaha menenangkan Kakek, membisikkan di telinganya bahwa aku ada di sini menemaninya. Bahwa kami akan membawanya pulang begitu dia sembuh. Perlahan-lahan, Kakek tertidur. Aku mengecup dahinya, lalu keluar sejenak menuju taman, di mana aku bisa mengecek hasil print-out yang kudapat.

Aku berhenti mencari di baris kesebelas.

Tanggal 30 November 2012, pukul 01.53, ada satu panggilan berdurasi duabelas menit ke nomor +622113121110

Setengah berspekulasi, kuhubungi nomor itu dengan ponselku, lalu menunggu.

Dering pertama. Dering kedua. Sampai dering kelima...

“Halo?”

Suara seorang perempuan menyambutku, sedikit bergetar, tapi terdengar lembut dan simpatik. Suara yang seharusnya menenangkan siapapun pendengarnya.

Tapi aku disergap panik. Ini adalah drama yang sama sekali tak direncanakan. Aku tak punya plot untuk diandalkan, atau naskah untuk dihapal. Hanya firasat yang menuntunku sampai sejauh ini.

“Halo?” Suara itu menyapa lagi.

Aku tak bisa mundur lagi.

“H-halo? Bisa saya bicara dengan... Abimanyu Prasetya?”

“Dari siapa ini?”

“Ini... Tiara, temannya.”

“Teman di mana ya?”

Aku mulai gelisah dengan interogasi ini, tapi terpaksa memutar otak. Aku bahkan tak tahu wujud Abimanyu Prasetya seperti apa.

“Teman... kuliahnya.”

“Ooh, teman satu jurusan ya, akuntansi?”

“Ya, betul...”

Sekilas terdengar suara dengusan di ujung sana.

“Kalau begitu kamu salah sambung, Tiara. Abimanyu yang ini tidak pernah ambil jurusan akuntansi kok. Sudah ya main-mainnya, selamat siang...” tandas perempuan itu, membuatku mati kutu.

“Tunggu!” teriakku, sebelum dia sempat memutuskan sambungan, “Tolong bilang padanya, ini penting! Ini tentang kakek saya, Bahtiar.”

Bunyi kemeresak itu muncul lagi.

“Bahtiar, katamu?”

“Ya. Anda kenal kakek saya?” tanyaku, setengah berharap.

“Kamu... cucunya?”

“Ya.”

“Bahtiar...” Perempuan itu menarik napas panjang. Amat panjang. “Apa kabarnya, dia?”

“Dia... Sedang dirawat di rumah sakit. Serangan jantung. Bisa saya menemui Anda? Ada yang ingin saya tanyakan, tentang kakek saya.”

“Rumah sakit? Di mana? Kita bertemu di sana saja,” perempuan itu terdengar sungguh-sungguh.
Aku menyebutkan nama rumah sakit itu, beserta alamatnya. Dia akan datang pukul empat sore ke kafetaria. Di sanalah kami akan berjumpa.

“Jangan bilang dulu pada Bahtiar soal ini,” dia mencamkan kalimat itu, “nanti dia berharap untuk dijenguk. Aku... mungkin tak akan menemuinya nanti.”

“Baiklah... Boleh saya tahu... Siapa Abimanyu Prasetya?” kataku, sedikit bernada minta maaf. Tapi sepertinya kelancanganku tidak mengganggunya.

Hening sejenak.

“Dia putraku.”

“Ooh,” informasi itu masih tak berarti apa-apa bagiku, “dia akan datang juga nanti sore?”

Kuharap begitu.

“Yah... Lihat saja nanti.”

“Dan, siapa nama Anda?” tanyaku terakhir kalinya, sebelum pembicaraan kami usai.

“Aku? Namaku Ambar.”

*

Catatan Stella: Bangunkan Aku Pukul Tujuh


Sudah baca cerita sebelumnya? Ini dia: Catatan Stella: Menanti Lamaran



Jadi, begitulah caraku memenangkan Bahtiar. Mungkin sedikit curang, tapi pernahkah kalian dengar idiom ini? Everything is fair in love and war. Dan aku berhasil. Tadinya kupikir begitu.

Saat bayi perempuanku lahir, Bahtiar, sama seperti halnya diriku, tampak terpesona tak habis-habisnya pada makhluk cantik itu. Bahkan kuapannya pun bisa membuat kami tersenyum.

“Apakah nama Lelie bagus untuknya?” kataku waktu itu.

Bahtiar mengulas senyum samar.

“Kau punya nama cantik lainnya, mijn man1?”

Selagi dia berpikir, aku mengamati wajah berahang kukuhnya. Kelak aku akan memberinya anak-anak yang sehat dan kuat. Darah dagingnya. Tapi biarlah dia mengira bayi ini anak kandungnya.

“Dia tidak mirip aku.”

Sejenak kurasakan diriku membeku, tapi lalu dia berkata, “Dia lebih mirip dirimu, Stella. Dia akan jadi secantik ibunya.”

“Ah.”

“Bagaimana dengan Nalini Sarisha? Itu dua kata Sansekerta untuk ‘cantik’ dan ‘mengagumkan’.”

“Nalini,” aku menatap bayi yang menggeliat dalam dekapanku, “Sarisha. Aku suka itu.”

Hingga bertahun-tahun sesudahnya, kukira kebahagiaanku telah sempurna. Bahtiar, ayah dan suami yang baik. Dia menjagaku dan Nalini seperti melindungi permata di dalam kotak kaca.

Bahtiar juga masih sahabatku yang terkarib. Setiap malam, setelah Nalini tidur, kami menghabiskan waktu dengan memperdebatkan berita hangat atau musik yang disiarkan di radio. Di penghujung semua itu, dia selalu berpesan padaku sebelum tidur, “Bangunkan aku pukul tujuh.”

Dia memang harus bangun pukul tujuh kalau tak ingin terlambat pergi bekerja. Ada mata kuliah yang harus diajarnya pagi-pagi.

Kadang-kadang, aku terjaga di tengah malam tanpa dia di sampingku, dan mendapatinya duduk terpekur di ruang tengah, berkutat dengan kertas dan buku.

“Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan,” katanya.  Atau, “Tidurlah. Sebentar lagi aku selesai.” Lalu, dia akan kembali ke kamar kami dan berpesan untuk dibangunkan pukul tujuh.

Suatu malam aku mendapati Bahtiar dengan kepala tertelungkup di atas meja. Kupikir dia tertidur, dan berjingkat hendak membangunkannya. Tapi tidak. Samar kulihat bahunya terguncang-guncang pelan. Sebelah tangannya mencengkeram rambutnya. Tangannya yang lain memegang selembar kertas. Lirih, kudengar isaknya.

Aku membeku di ambang pintu, lalu diam-diam menyingkir.

Malam-malam berikutnya, aku mengintainya. Diam-diam, kubuntuti dia keluar kamar. Dari celah pintu yang tak tertutup rapat, aku bisa melihatnya mengambil sesuatu dari laci yang terkunci. Sehelai kertas.

Bahtiar duduk separuh memunggungiku, dan membaca isi kertas dengan cermat. Semakin lama dia membaca, semakin tampak gerak-geriknya yang resah. Dia menggerakkan lengannya, seperti sedang menghapus airmata yang tak habis-habis. Di akhir sedu sedannya yang pelan, dia membawa lembaran itu ke bibirnya, seperti seorang lelaki mengecup kekasihnya.

Saat dia beranjak untuk menyimpan kembali benda itu, aku tersaruk menuju kamar. Pura-pura masih pulas bermimpi, padahal benakku terjaga sampai pagi.

Apa yang dibacanya setiap malam? Apa yang membuatnya menangis? Kenapa dia merahasiakannya dariku, zijn vrouw2? Pertanyaan-pertanyaan menghantuiku.

Aku mencemaskannya, sekaligus kecewa karena dia tidak cukup mempercayaiku untuk berbagi.

Suatu malam dia pulang terlambat karena janji diskusi dengan mahasiswanya di kampus. Setelah menidurkan Nalini, aku berdiri di depan meja itu. Memandangi lacinya yang bisu terkunci seperti kotak pandora.

Apa isinya?

Aku menemukan perkakas di gudang, dan merusak kunci itu. Di dalamnya ada selembar kertas terlipat, agak lusuh seperti terlalu sering dibuka dan dilipat kembali. Itulah satu-satunya benda dalam laci itu.

Aku membaca tulisan huruf-huruf sambung yang indah di dalamnya.

“My dearest B,

‘Kita.’

Huruf-huruf yang mampu meleburkan dua jiwa berbeda, aku dan kamu, menjadi satu...


Aku mendudukkan tubuhku yang limbung ke kursi. Meski tak ingin, mataku terus terhunjam ke sana, membaca surat itu sampai bagian terakhir.

‘Kita.’

Kita terurai paksa, kembali menjadi aku dan kamu yang asing satu sama lain. Pintalan mimpi kita musnah, tiada. Sekedar istana pasir yang luluhlantak terhela ombak. Ombak itu berwujud seorang perempuan dari masa lalumu. Orang ketiga yang merampas ‘kita’ dariku.

Sejak itu, ‘kita’ bukan aku dan kamu yang menyatu.

Mulai detik itu, ‘kita’ adalah kamu dan dia.

Jadi inilah, B. Kita berpisah di persimpangan takdir. Kamu ambil jalanmu, dan aku pilih jalanku sendiri. Kemanapun ini menuju, kuharap ada akhir yang bahagia di sana.


Salam terakhirku,

A.”

Jika biasanya Bahtiar yang duduk di sini, kali ini akulah yang berada di tempatnya, termangu memegang surat itu. Surat dari Ambar. 

Kupikir aku telah menyingkirkannya dari benak Bahtiar. Kupikir diriku dan bayiku sudah cukup untuk menghapus kenangannya bersama perempuan itu. 

Kupikir aku berhasil memenangkan Bahtiar.

Oh, Stella tolol!

Aku hanya berhasil merantai tubuhnya di sisiku, tapi tidak hatinya.

Saat dia tersenyum padaku, dia sedang tersenyum pada perempuan lain. Saat dia bisikkan kata-kata cinta, dia sedang menyatakan cinta pada perempuan lain. Saat aku ada dalam dekapannya, yang dia harapkan ada di sana adalah perempuan lain. 

Aku melolong, murka dan kecewa. Aku ingin melumat surat itu jadi serpihan-serpihan kecil sebelum membakarnya, tapi sepasang tangan kokoh menghentikanku pada robekan pertama.

“Hentikan, Stella!” hardiknya menggelegar.

Direbutnya robekan itu dariku, dan dipandanginya dengan patah hati.

“Jadi ini yang kamu tangisi setiap malam? Ini rahasiamu? Bahwa selama enam tahun kita bersama, kamu selalu memikirkan Ambar? Hah?”

Hening.

“Jawab aku,” kataku, setengah memohon.

Dia hanya menatapku dengan sorot terluka, yang selama ini aku terlalu buta untuk melihatnya. Dibenahinya potongan surat itu, lalu dilipatnya hati-hati. Disimpannya baik-baik benda itu di saku kemeja.

Bahtiar berbalik pergi menuju ke kamar, namun di ambang pintu dia menoleh.

“Bangunkan aku pukul tujuh...” katanya, sama seperti malam-malam sebelumnya. 
Dalam kepalan tanganku, ada sisa robekan surat. 

Di dalamnya, ada nama yang seharusnya untuk bayi perempuan mereka. Nalini Sarisha.  



*



Terjemahan:

  1. Mijn man : suamiku
  2. Zijn vrouw : istrinya

Selasa, 22 Januari 2013

Catatan Stella: Menanti Lamaran



Aku menghisap rokokku dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Batang yang keberapa ini? Ah, masa bodohlah. Aku berhenti menghitung sejak berjam-jam lalu. Tepatnya, sejak aku pulang dari rumah sakit tadi malam, membawa suatu rahasia. 

Stella... Niet geslapen, ja1?” Adriaan bergumam padaku dengan suara mengantuk. Kedua matanya setengah terpejam. “Pukul berapa ini...?” 

“Pukul tiga pagi, Adriaan,” kataku, menikmati hisapan terakhir sebelum melumat puntung rokokku ke asbak di atas nakas.

“Hmm,” jawabnya, lalu berguling membelakangiku.

Aku menyelinap kembali ke balik selimut.

“Adriaan.”

“Hmm?”

Aku menimbang-nimbang. Haruskah kuberitahu Adriaan rahasiaku? Hubungan kami baru berlangsung sebentar. Sejujurnya, hubungan ini bahkan lebih berupa simbiosis mutualisme belaka. Adriaan butuh seseorang untuk mengisi kesepiannya. Aku butuh seseorang untuk mengalihkan hatiku dari mantan kekasihku.

Mantan? Ah, niet2. Aku dan lelaki itu bahkan tak pernah jadi sepasang kekasih. Dia hanya menganggapku sahabat, yang menyenangkan untuk diajak berdebat tentang apapun. Tentang kebencian ingenieur3 Soekarno pada Amerika, yang dianggapnya absurd. Tentang buku Jane Austen yang digemarinya; Pride and Prejudice. Tentang Elizabeth Bennet, tokoh utama dalam buku itu, yang menolak tunduk pada definisi “terhormat” pada zamannya. Zaman di mana seseorang haruslah kaya raya atau berdarah bangsawan untuk bisa disebut “terhormat”.

“Stella, kamu ini tidak hanya cantik, tapi juga cerdas, dan tak sungkan memperlihatkan kecemerlanganmu pada siapapun. Ini,” katanya di setiap akhir perbincangan seru kami, “adalah kemewahan yang jarang kutemui pada perempuan-perempuan pribumi asli. Terutama perempuan Jawa. Mereka terbiasa dipingit dan menuruti kata-kata kaum lelaki.”

Aku sudah terlampau sering mendengar lelaki menyebutku cantik. Pertama, Papa. Dia selalu memanggilku mijn mooie lelie. Bunga liliku yang cantik. Kedua, mantan-mantan kekasihku. Postur tinggi dan garis wajah Eropa yang kudapat dari Papa Willem, mereka sebut cantik. Kulit langsat dan rambut ikal legam yang kuperoleh dari Mama Hartini juga mereka bilang cantik.

Tapi kenapa hatiku bergetar hanya ketika lelaki itu yang memujiku? Kenapa senyumku tak bisa berhenti mekar hanya karena dia bilang, aku mengingatkannya pada Elizabeth Bennet?

Tak terbilang lagi waktu yang kami isi dengan obrolan intim yang panjang, pertengkaran, sesapan kopi (atau, dalam kesempatan yang sangat jarang, brendi), serta kepulan asap rokok.

Sampai suatu malam, kami terlalu banyak berbicara dan terlalu banyak menyesap alkohol. Semuanya tampak kabur, dan tahu-tahu kami terbangun esok paginya di atas ranjang yang sama, hanya terbungkus sehelai selimut. Dia tampak sangat bingung, terus-menerus minta maaf padaku atas “peristiwa semalam” yang bahkan tak diingatnya.

Tapi aku ingat. Semuanya.

Tatapan matanya yang tajam. Lengannya yang kokoh. Bibirnya yang terasa manis di bibirku.

Diam-diam aku jatuh cinta padanya. Diam-diam aku berharap dia punya rasa yang sama untukku. Aku bermimpi suatu saat dia akan memintaku menjadi zijn vrouw. Istrinya.

Nyatanya, hubungan kami tak kemana-mana. Aku tak pernah beranjak dari posisi lamaku yang terkutuk: zijn beste vriend. Sahabat karibnya. Dia mengagumiku hanya karena jiwa liberalku, yang kuwarisi dari mendiang Papa. Dia betah bersamaku sebab kami seide, sejiwa. Tapi tidak sebagai kekasih.

Penantianku kandas saat suatu hari dia berlari padaku dan berseru, “Stella! Aku bertemu seorang gadis!”

Lalu, tanpa bisa kubungkam, dia bercerita tanpa henti tentang gadis pribumi itu. Matanya berbinar membahas senyum simpul, wajah tersipu, bahkan kegalakan perempuan itu saat dia coba merayunya.

Politik, sastra, dan seisi dunia tersingkir dari pembicaraan kami. Dia terus mencekokiku dengan cerita asmara mereka, sementara aku pura-pura antusias mendengarnya.

Hanya dua bulan berselang, dia datang memamerkan cincin emas itu.

“Cantik kan?” ujarnya bahagia.

Aku menatapnya nanar, lalu menjawab, “Cantik,” meski tahu cincin itu bukan untukku.

“Aku akan melamarnya malam ini, lalu kami akan menikah tahun depan. Tentu saja kalau dia menerima lamaranku...”

“Absurd! Kalian baru dua bulan saling mengenal!”

“Dua bulan, duabelas tahun. Apa bedanya, Stella? Kami saling mencintai.”

Aku menghilang berhari-hari. Bersembunyi di kamar sewa temanku, menangis sepuasnya dan hanya berhenti saat tegukan-tegukan brendi berhasil menumpulkan hatiku. Temanku prihatin dan memperkenalkan Adriaan, orang berdarah campuran sepertiku.

“Siapa tahu kalian saling cocok.”

Dan dalam waktu singkat, aku sudah bersama Adriaan.

 “Adriaan, aku ingin bilang sesuatu.”

“Apa?”

“Aku hamil.”

Aku merasakan tubuhnya mengejang sesaat.

“Semalam aku ke rumah sakit. Dokter bilang aku hamil.”

Hening.

“Siapa ayahnya?”

Aku terduduk.

“Apa maksudmu? Kaulah ayahnya.”

“Kau yakin?”

“Yakin!” teriakku jengkel, “Berbaliklah dan biarkan aku melihatmu.”

Aku ingat merasa lega ketika mendapat haid setelah “peristiwa semalam” dengan “sahabatku”. Lalu aku terus bersama Adriaan, dan sejak itu aku belum haid lagi. Sudah telat dua minggu.

Adriaan tersadar penuh sekarang. Dia menatap kanopi tempat tidur. Gelisah.

“Kapan aborsinya?”

“Apa?” Aku tidak tuli kan? “Aku tidak mau aborsi.”

“Kita tak mungkin menikah secepat itu. Kita kan... baru saling kenal. Yah, aborsi atau tidak, itu kuputusanmu. Tapi aku tak ingin terlibat.”

Malam itu kuakhiri dengan hengkang dari kamar Adriaan. Ohya, aku sempat menamparnya. Bagaimanapun, jiwaku tertampar berkali-kali lipat lebih sakit. Tak adakah yang benar-benar peduli padaku?

Suara Papa terngiang lembut, “Mijn mooi lelie, kuatlah. Beranilah!”

Papa sudah mengajariku untuk jadi gadis pemberani, tapi lupa mengajariku cara sembuh dari patah hati. Aku sudah menunggu dia begitu lama, tapi justru gadis lain yang memenangkannya.

Wacht alleen voor degenen die zwak zijn. Vergeet niet dat!4

Langkahku terhenti.

Kuulang lagi, dan lagi kalimat Papa.

Wacht alleen voor degenen die zwak zijn.”

Menunggu hanyalah untuk mereka yang lemah.

Papa benar. Apa yang kudapat dari penantian? Tidak cinta sejatiku. Tidak juga Adriaan.

Aku tidak akan pasrah. Tidak akan pernah menunggu lagi.

Aku harus mengejar apa yang hendak kuraih.

Aku memaksa otakku bekerja sepanjang perjalanan pulang. Rencana mulai tersusun, satu-persatu. Aku membasuh wajahku. Memulasnya dengan bedak tipis dan gincu berwarna pucat. Memasang ekspresi bingung yang tepat untuk lelaki tercintaku.

Lalu, dengan tenang aku datang ke pintu rumahnya. Membiarkannya menyambutku, kaget sekaligus senang karena aku muncul setelah sebulan lebih menghilang. Dan, ini dia.

“Bahtiar...”

Aku tak mau menunggu lagi.

“Aku hamil.”

*





Terjemahan:

  1. Belum tidur ya?
  2. Bukan
  3. Insinyur
  4. Menunggu hanyalah untuk mereka yang lemah. Ingat itu!